Meski memiliki kekurangan pada bagian tubuh, penyandang disabilitas memiliki kemampuan otak yang normal. Dari observasi yang dilakukan mahasiswa Binus University terhadap penyandang disabilitas di sekitar mereka, banyak dari penyandang disabilitas memiliki kemampuan otak yang sehat.
Hal ini mendorong dua mahasiswa Teknik Informasi Binus untuk membuat sistem untuk menolong penyandang disabilitas. Teknologi yang mereka buat adalah kursi roda elektronik berbasis pembaca pikiran.
Kedua mahasiswa tersebut adalah Santoso (21) dan Ivan Halim Parmonongan (21). Proyek yang mereka buat merupakan tugas akhir atau skripsi yang dikerjakan sejak Febuari hingga Oktober 2015. Keduanya menamakan alat tersebut dengan Bina Nusantara Wheelchair (BNW) Kursi Roda Dengan kendali Otak.
Menurut Dr Widodo Budiharto, Ssi, M.Kom, soal pembacaan pikiran, secara teoritis, otak memancarkan sinyal dalam orde sekitar 50 mikroVolt atau kurang. Namanya EEG atau Electroencephalograph.
“Teknologi EEG inipun bukanlah hal baru, seorang ilmuawan pertamakali menampilkan sinyal EEG seorang anak laki laki pada tahun 1929. Bagaimana besaran sinyal itu adalah dari apa yang kita pikirkan,” kata Dr. Widodo.
Jenefer menjelaskan, komponen utama pada alat ini adalah kursi roda manual dan alat EEG bernama neuroheadset. Neuroheadset adalah alat yang dapat menangkap gelombang listrik otak dan memperkuatnya dalam skala ribuan kali.
Neuroheadset ini terhubung dengan apikasi software yang mereka buat di dalam CPU dengan menerapkan kecerdasan buatan tingkat tinggi. “Aplikasi kami akan mengolah sinyal yang diterima dari neuroheadset. Lalu difilter untuk mengambil gelombang alfa dan beta yang kemudian ditransformasi dengan algoritma fast fourier transformation. Kemudian di input untuk mesin,” jelas Jennifer.
Aplikasi ini kemudian akan meneruskan sinyal yang sedang diproses ke Arduino Uno, yakni papan mikrokontroler. Kemudian diteruskan ke motor driver yang akan digunakan untuk menggerakkan kedua motor DC, yaitu motor listik yang bekerja menggunakan sumber tegangan DC.
Adapun cara kerja kursi roda memakai dua data. Electroecephaloraph (EEG) alias sinyal otak untuk disabilitas yang lehernya tidak bisa bergerak dan dengan gyroskop untuk menangkap sensor gerak bagi penderita yang masih bisa menggerakkan leher.
Meski merupakan skripsi, namun karya mereka ini bukan hanya sekedar alat, namun juga fokus pada penelitan optimasi model dan metoda yang diusulkan. Keduanya telah berhasil mengusulkan metode klasifikasi yang cepat dengan akurasi yang lebih baik dari versi sebelumnya.
Tak hanya sampai pada penilaian dari kampus, Kursi Roda Dengan kendali Otak buatan mereka pernah meraih juara dua dalam pagelaran mahasiswa nasional bidang teknologi informasi dan komunikasi 2015, kategori sistem cerdas. Tidak hanya itu, riset ini juga menghantarkan dosen pembimbing mereka terpilih sebagai 15 besar dosen berprestasi tingkat nasional.
Penelitian yang dibiayai oleh Toray Scinece and Teknology Reasearcg Grant dari Jepang ini juga akan dipresentasikan pada Internasional Conference on Robotics and Vision yang terindeks Scopus dan ISI di Tokyo pada bulan Mei 2016 mendatang.[]