More

    Kisah Siluman Kerbau Bikin Krisis Lingkungan di Bandung

    Bagi komunitas seni Bandoengmooi, krisis air yang melanda akhir-akhir ini bukan semata-mata kerena musim kemarau, melainkan disebabkan siluman. Siluman ini mencaplok tanah, memicu banjir, menebar limbah, penyakit, hingga kematian.

    Bandoengmooi kemudian menyikapi krisis air lewat pementasan teater dengan lakon Munding Dongkol di Centre Culture of Ledeng (CCL) alias Celah-Celah Langit, Jalan Setiabudhi Gang Bapak Eni, No. 8/169 A, tepat di samping Terminal Ledeng, Bandung, Senin malam (25/09/2017).

    CCL adalah satu tempat pertunjukkan yang digagas Iman Soleh sekeluarga yang memanfaatkan halaman untuk pagelaran seni dan budaya.

    - Advertisement -

    Lakon yang diperankan bertepatan dengan rangkaian hari ulang tahun (HUT) Bandung ke-207 “SeniBandung#1” itu awalnya berbau takhayul, dapat dilihat dari judulnya, Munding Dongkol yang tidak lain siluman atau dedemit. Munding dalam bahasa Sunda ialah kerbau.

    Si siluman kerbau diyakini warga sebagai sumber bencana yang melanda kampung.

    Tiga hansip membicarakan wabah dikampungnya diselingi dengan guyonan segar yang bikin penonton terbahak. Hansip pun membahas soal kualitas air sungai Cikapundung yang buruk. Banyak warga kampung yang menderita penyakit bentol bernanah sebagaimana diterangkan tiga Hansip yang lagi patroli (diperankan Jajang, Hafidz dan Dio).

    Di tengah percakapan tiba-tiba terdengar seorang perempuan menjerit histeris. Rupanya yang menjerit adalah Ceu Edah (diperankan Ajeng).

    Anak Ceu Edah, Si Euis, menghilang tanpa jejak. Euis adalah perempuan jelita kebanggaan kampung itu. Para hansip curiga, Euis menjadi tumbal seorang pengusaha pabrik tekstil, Nyi Mas Titi yang bersekutu dengan Munding Dongkol.

    “Anak saya memang pernah melamar kerja pabrik tekstil,” ujar Ceu Edah seraya kembali histeris.

    Pencarian Euis dilakukan di saat warga kampung bingung dan marah karena kehilangan tanah dan sumber air. Petani kehilangan sawah. Pembajak sawah terpaksa harus menjual kerbaunya.

    Ragam persoalan warga itu selalu “berlatar” barisan perempuan bertanduk munding serta membawa ember. “Latar” kadang bergerak mengikuti irama lagu, kadang menginterupsi konsentrasi penonton dengan berbagai emosi.

    Sebagian warga melakukan demonstrasi ke DPRD. Mereka tak terima tanah mereka dijual. Ironisnya, banyak warga yang kehilangan tanah tanpa merasa sudah menjualnya kepada pengusaha kondominium atau apartemen. Di saat warga berdebat soal tanah dan sumber air, hansip yang melakukan pencarian terhadap Euis membawa kabar bahwa putri desa itu ditemukan, dalam keadaan meninggal dunia.

    Warga pun menandu jenazah Euis. Mereka bernyanyi diiringi musik sedih. “Hidup di dunia tidak selamanya. Akan datang masanya kita berpisah. Apa yang dijalani hanyalah fana. Mengembara dalam setiap cerita.”

    Kepada penonton, dijelaskan bahwa siluman Munding Dongkol itu tidak ada, yang ada adalah limbah yang mencemari sungai. Saat mencari air, Euis terpeleset dan masuk sungai Cikapundung yang penuh limbah beracun. Limbah itulah yang membunuh Euis dan menyebarkan wabah penyakit.

    Teater dan Lingkungan Hidup
    Usai pentas, Hermana MT dan 30 lebih pemain teaternya berdiri di atas panggung. Hermana berharap, ada hikmah di balik pertunukan teater Munding Dongkol itu.

    “Kita harus tetap menjaga lingkungan hidup karena itulah yang akan menjadi berkah. Kalau lingkungan tak dijaga, akan celakalah kita,” ajaknya.

    Salah satu upaya menjaga lingkungan ialah dengan tidak membuang sampah sembarangan. Menurut Hermana, kerusakan lingkungan Kota Bandung sudah lama menimbulkan banjir di Bandung selatan.

    “Mari kita buang sampah pada tempatnya. Jagalah air, tanamlah pohon. Bandung sudah kehiangan air padahal dulu sumbernya air. Mudah-mudahan di HUT ke-207 tahun ini Bandung semakin dijaga,” ungkap Hermana. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here