More

    Romantisme Reformasi dan Agenda yang Belum Tuntas

    Iman Herdiana

    Mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR, menuntut Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatan Presiden, pada Mei 1998 | Foto: KOMPAS/EDDY HASBY

    BANDUNG, KabarKampus – Reformasi yang sudah sudah berlalu 20 tahun lalu dinilai cuma jadi ajang romantisme bagi gerakan mahasiswa 1998 sendiri. Padahal masih banyak pekerjaan rumah atau agenda reformasi yang belum tuntas.

    Priston Sagala, aktivis 98 dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengatakan, buah reformasi ialah mundurnya Seoharto yang 32 tahun memimpin negeri ini secara otoriter. Namun bukan hanya itu yang dikehendaki gerakan mahasiswa, melainkan ada agenda perubahan lain yang seharusnya berdampak pada masyarakat.

    - Advertisement -

    “Banyak peristiwa yang terjadi di negeri ini selama Soeharto berkuasa. Bangsa ini dihisap, dieksploitasi, bukan hanya digadaikan tapi sudah dijual kekayaan buminya,” katanya, dalam bincang santai “20 Tahun Reformasi” di Kaka Cafe, awal Mei lalu.

    Selain Priston, diskusi tersebut dihadiri sejumlah narasumber dari aktivis 1998, diantaranya Budi Yoga (aktivis 98 dari Unpar), Irzal Yanuardi dan Furqan AMC, aktivis 98 Forum Aktivis Mahasiswa Unisba (FAMU),

    Priston mengacu pada sejumlah kontrak pertambangan yang berlaku puluhan tahun hingga kini. Menurutnya, mundurnya Soeharto bukanlah sebuah keberhasilan dari gerakan reformasi 98. Kemunduran itu justru menjadi persoalan baru.

    “Karena Soeharto itu bukan tumbang tapi mengundurkan diri. Suhartonya saja yang turun, tapi instrumen kekuatan-kekuatan Orde Baru seperti militer, pengusaha dan partai yang tiga itu (Golkar, PDI, PPP) tidak terkritisi dan tidak terapresiasi oleh kami bahwa itu adalah power besar dari Suharto,” katanya.

    Priston tidak menampik jika gerakan reformasi menghasilkan perubahan. Namun sejauh mana perubahan mencapai cita-citanya, masih tanda tanya. Cita-cita itu ialah melepaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan dan segala macam tekanan ekonomi, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan lainnya.

    “Dari situ kita kan bisa melihat bahwa sebetulnya itu tidak terbawa, tidak terderek untuk menjadi isu yang tentunya ketika Soeharto lengser itu jadi ‘PR’ besar yang seharusnya diselesaikan oleh kelompok atau gerakan mahasiswa pada saat itu,” paparnya.

    Ia menyebut, gerakan reformasi justru terjebak pada euforia lengsernya Soeharto dan lupa akan agenda penyelenggaraan negara selanjutnya.

    “Mahasiswa mungkin lebih pada datang, melakukan perlawanan, tekanan, pemberontakan setelah itu lupa. Kami tak punya konsep untuk menyerahkan penyelenggaran bangsa ini seperti apa,” katanya.

    Masalah-masalah pasca-lengsernya Soeharto, seperti mengadili rezim atau kroninya, pemberantasan KKN, dan agenda reformasi lainnya mulai dilupakan seiring berjalannya waktu. Semua bereuforia, seolah-olah gerakan mahasiswa adalah pahlawan. Namun euforia dan heroisme saat itu mengubur semua yang jadi cita-cita dan ‘PR’ berikutnya.

    Selain itu Priston menyebut, hari ini salah satu partai pendukung utama Orde Baru justru semakin kokoh. Sementara tuntutan reformasi jelas, salah satunya adili Soeharto dan kroni-kroninya, yaitu partai politik yang mendukungnya.

    “Jika demikian, reformasi itu untuk siapa?” tegas Priston.

    Salah satu buah reformasi ialah lahirnya Pemilu langsung. Namun dalam kenyataannya, Pemilu langsung belum tentu menghasilkan pemimpin yang diinginkan rakyat. Buktinya, kata dia, saat ini pejabat dari tingkat pusat sampai daerah terlibat korupsi.

    Priston yakin semua pejabat tersebut korupsi semuanya. Bahkan ia kini melihat bangsa ini sedang di ujung tanduk, jika tak segera dibenahi berdasarkan akal dan hati yang waras.

    Sementara itu, Furqan AMC menambahkan, reformasi 98 memang menghasilkan beberapa capaian selain Pemilu langsung. Tapi seberapa besar bobot capaian itu yang masih menjadi catatan. Contohnya otonomi daerah dan kebebasan pers yang dalam praktiknya masih harus dievaluasi.

    Sementara di luar semua itu, banyak juga tuntutan reformasi yang sampai hari ini sama sekali tak tersentuh. Misalnya adili Suharto tidak ada bentuk konkret.

    “Padahal diamanatkan di Tap MPR, menyita kekayaan rezim Orde Baru dan kroni-kroninya sampai hari ini juga nggak jelas. Penegakan HAM terhadap penghilangan paksa para aktivis dan korban kekerasan juga tidak ada. Reformasi ekonomi malah terlihat seperti pembukaan pasar yang seluas-luasnya kepada kepentingan yang belum tentu bisa dijamin demi Indonesia,” tambah Furqan.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here