More

    Batas yang Tak Terbatas dalam Puisi Derek Walcott

    Sebaiknya kita belajar bagaimana membuat lukisan puitik (metafora, simile, imaji, dan majas perbandingan lainnya) secara tepat dan benar dari puisi Derek Walcott ini. Kita juga bisa belajar bagaimana pendalaman-tematik yang dilakukan oleh Derek Walcott berdasarkan perbandingan antara sejarah Mesir Kuno, Kekaisaran Romawi, dan Tobago (tanah kelahiran Walcott). Juga, bagaimana situasi-situasi batas di dalam tema puisinya–seperti kegagalan, penderitaan, cinta, dan kematian–dipadukan ke dalam satu teks puitik dengan cerdas.

    Batas, Tuan dan Puan, bukanlah sekadar “pagar” yang diciptakan oleh manusia. Batas, seperti kata filsuf eksistensi Karl Jasper, juga adalah sebuah cara agar kita bisa melakukan transendensi, agar kita bisa “melompat” dan melampaui keterbatasan kita menuju yang tak terbatas. Derek Walcott, penyair Karibia yang meraih Nobel Sastra pada tahun 1992 itu, adalah seorang kulit hitam yang diakui kalangan kritikus sastra dunia sebagai penyair yang menulis dalam bahasa Inggris lebih baik daripada para penyair Inggris sendiri, agaknya memahami dengan mendalam bahwa kolonialisme telah menciptakan batas lewat invasi militer, intrik politik, politisasi seks, dan pembantaian. Ia mengakui batas itu. Meski demikian, ia tak hanya menerima batas itu, tetapi mencoba melampauinya dengan menafsirkan lagi teks-teks dan sejarah kolonialisme. Ia tak menolak batas itu dengan berilusi seperti kaum nomad yang melihat cakrawala sebagai tak terbatas–hanya karena mereka tak mengetahui bahwa bumi itu bundar.

    - Advertisement -

    Derek Walcott menyadari bahwa ia tak perlu berpura-pura menjadi orisinal dengan menipu publik sastra bahwa ia telah menemukan teknik menulisnya sendiri, teknik menulis yang terbebas dari ars poetica sebelumnya. Sebaliknya, ia menggunakan teknik itu, aturan-aturan (batas) dalam teknik itu secara presisif, dan tak menempatkan pembaca pusinya ke dalam wilayah gelap interpretasi.

    Misteri itu masih tetap ada dalam puisi Derek Walcott ini, misteri dari situasi-situasi batas itu. Kompleksitas dalam puisi Derek Walcott tidak dibangun dari kesalahan sintaksis dan stilistika, tetapi oleh paduan presisi setiap unsur-unsur yang menyusun komposisi di dalam puisinya–gita-putik, lukisan-puitik, dan pendalaman tematik. Misteri itu mengundang pembaca puisi kepada trasendensi, kepada yang tak terbatas, justru dengan menyadari keterbatasannya. Pada akhirnya kaum nomad itu menyadari bahwa bumi itu bundar.

    ————————————————————————–
    Esai @ Ahmad Yulden Erwin, 30 Desember 2015
    ————————————————————————–

    MESIR, TOBAGO-

    Karya Derek Walcott

    Ada sebatang palma hancur
    di pantai ganas ini,
    rumbai bulu pada helm berkarat—
    ketika seorang prajurit sekarat.

    Kebekuan Antony, tatkala mati suri
    usai regangan malas seorang betina,
    di sampingnya seks seperti kucing tidur,
    tahu hatinya adalah gurun paling nyata.

    Di atas bukit pasir
    bergelombang,
    gemuruh hatinya
    memudarkan legiun fatamorgana,

    di sprei cinta-kusut,
    bayang perahu-perahu perang pun susut.
    Pada pintu terukir kuil betina itu
    seekor lalat memeras pesannya.

    Diurainya untaian rambut basah
    hingga menjauh dari telinga
    sempurna seperti tidur seorang kanak.
    Dia menatap, tak berdaya, helai-helai jatuh itu.

    Dia berbaring seperti sebatang pohon palma
    sewarna tembaga pada pukul tiga sore
    disebabkan lautan panas
    dan sungai, di Mesir, Tobago.

    Rawa garam betina itu mengering dalam cuaca
    panas tatkala ia kandas tanpa baju besi.
    Dia telah menukar sebuah kerajaan
    demi manik-manik keringat betina itu,

    kegaduhan dalam arena,
    gelombang dari pergantian
    para senator, karena kebisuan plafon ini
    lebih senyap ketimbang hamparan pasir—

    beruang beruban ini, yang bulu-bulunya
    rontok, keperakan—
    hanya demi seekor rubah lincah dengan bau manis
    betinanya. Sebab tidur telah dipotong-potong,

    kepalanya
    ada di Mesir, kakinya
    di Roma, pangkal pahanya ada di parit
    gurun bersama tentara yang mati.

    Ia menyusupkan sebuah jari
    melintasi rambut kaku betina itu
    yang tampak garing seperti pancuran ekor kuda.
    Bayang merayapi ubin istana.

    Dia terlalu lelah untuk bergerak;
    satu erangan akan membangunkan
    terompet, satu lagi isyarat
    perang. Tatapannya,

    perisai
    mencerminkan kebakaran,
    alis tembaga yang tak bisa mengerutkan kening
    di pembantaian, keringat terik matahari.

    Hal ini bukan disebabkan kekacauan
    dari nafsu musim gugur,
    tetapi pengkhianatan, yang menjerumuskan
    dirinya, dipecat dan teronggok muram bersama debu,

    Dengkuran mesin betina itu lembut seperti kanak,

    itulah tidur yang tak lain sabit maut
    bergagang tombak, panen
    menebangi legiun
    yang telah kehilangan pisaunya,
    yang membuat Caesar,

    seperti menepuk lalat,
    menampar dahi mereka
    bersama jejak kemenangan itu,
    pemabuk, komedian.

    Semua tidur murahan itu, kedamaian
    manis itu, tiada lain kematian,
    keheningan yang memiliki
    semua berat laut dan keramahan mulut,

    ayunan bola dunia disebabkan aroma kibaran rambut.

    Hancur dan liar dan
    mahkota-palma Antony,
    berkarat di Mesir,
    siap untuk kehilangan dunia,
    untuk Actium dan pasir,

    yang lainnya
    kesia-siaan, tapi kelembutan ini
    semata demi betina yang bukan gundiknya
    melainkan bocah teman tidurnya.

    Langit tak berawan. Sore terasa ringan.

    —————————————————————————
    Diterjemahkan @ Ahmad Yulden Erwin, Juni 2015
    —————————————————————————

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here