More

    Kapitalisme dan Harga Pangan di Indonesia

    Revolusi Hijau dan Mekanisasi Pertanian sebagai Ekspresi Kapitalisme Pangan 

    Murah 

    Dengan menggunakan paradigma Moore, hal pertama yang harus kita pahami mengenai semesta pertanian Indonesia pasca 1965 adalah bahwa “desa” sebagaimana yang dulu kita kenal, telah ditelan oleh kapitalisme. Melalui Revolusi Hijau dan Mekanisasi Pertanian, kapitalisme melakukan reorganisasi terhadap semesta pertanian kita. Pertama-tama, Revolusi Hijau menyeret masuk (inkorporasi) pertanian Indonesia ke dalam sistem pasar dengan memperkenalkan pupuk dan pestisida industrial ke pedesaan. Melalui reorganisasi ini, pertanian Indonesia dibuat tergantung pada industri pupuk dan pestisida. 

    - Advertisement -

    Di sini, kita melihat bagaimana dualitas Alam/Sosial bekerja. Kapitalisme, melalui pemerintahan Orde Baru, mengerahkan tenaga pemasaran dalam bentuk Penyuluh Pertanian, untuk mendesak, membujuk, atau mendorong petani Indonesia agar beralih ke pupuk dan pestisida industrial. Duapuluh tahun dibutuhkan (1970-an sampai 1990-an) untuk membuat proses reorganisasi ini tuntas (lihat, misalnya, Rinadi et al., 2019). Ini adalah sebuah Gerak Sosial. 

    Sementara penggunaan pupuk dan pestisida ini, lama-kelamaan mengubah komposisi tanah— terutama yang menyangkut unsur haranya. Petani Indonesia menghabiskan 20-50% dari biaya bertanam hanya untuk pestisida (Kurniatmanto, 2005: 49). Bisa dibayangkan betapa besar ekses pestisida yang terpendam dalam tanah. Bahkan ekses pestisida ini dapat pula terbawa air dan mencemari lahan sampai jauh dari lahan asal yang menggunakan pestisida tersebut. Pada gilirannya, pupuk dan pestisida menjadi salah satu sebab penting terjadinya kerusakan dan degradasi kualitas lahan di Indonesia. 

    Kapitalisme bergerak mereorganisasi alam dalam bentuk lain, yakni alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan untuk infrastruktur, industri (termasuk perkebunan monokultur), atau perumahan (lihat, misalnya, Putri, 2015). Pertambahan penduduk seringkali dipersalahkan atas terjadinya alih fungsi lahan ini namun, sebagaimana ditunjukkan oleh Putri (2015), setidaknya dalam kasus Jawa Tengah, pengaruh pertambahan penduduk ini tidak signifikan dalam mendorong terjadinya alih fungsi lahan. Dengan demikian, kita bisa dengan aman menyebut bahwa alih fungsi lahan ini adalah bagian dari reorganisasi internal kapital. 

    Penyusutan lahan untuk produksi beras juga terjadi ketika petani beralih dari padi ke komoditas lain yang dianggap lebih memberikan imbal hasil (lihat, misalnya, 

    Penyusutan fungsi lahan ini, ketika bertemu dengan degradasi kualitas lahan dan perubahan iklim (yang memiliki dinamika Alam/Sosialnya sendiri), membuahkan kemerosotan produksi beras Indonesia di tahun-tahun awal abad ke-21.

    Interpenetrasi Alam/Sosial juga terjadi ketika kita melihat dari sudut ketimpangan kepemilikan lahan, sebuah masalah sosial. Saat ini, 68% dari seluruh lahan di Indonesia dikuasai oleh 1% korporasi,[4]sementara jumlah keluarga petani yang memiliki lahan di bawah 0,5 hektar (petani gurem) terus meningkat sejak 2013 dan kini mencapai 58% dari total rumah tangga tani di Indonesia.[5] Pada gilirannya, ada dua dampak dari ketimpangan ini pada sektor pertanian kita. Dampak pertama adalah semakin berkurangnya lahan yang secara potensial dapat dipakai memproduksi beras. Produksi beras jelas jauh kurang menghasilkan profit ketimbang produksi komoditi pertanian lain, seperti sawit. Sekalipun secara relasi publik sebuah korporasi akan menyatakan mendukung “ketahanan pangan”, meraup profit tetap menjadi tujuan utama mereka. Dampak kedua adalah bahwa 16 juta keluarga tani tidak memiliki cara untuk meningkatkan produktivitas mereka karena keterbatasan lahan dan modal niscaya menghambat akses mereka pada teknologi pertanian (terutama yang berkelanjutan). Satu-satunya jalan yang terbuka bagi mereka untuk dapat meningkatkan produktivitas usaha tani mereka adalah pupuk dan pestisida. 

    Paradigma Jaring Kehidupan membuat kita menyadari bahwa pertanian Indonesia tengah terjebak dalam sebuah siklus jahanam (viscious cycle) yang diawali oleh Gerak Kapital untuk mereorganisasi pertanian Indonesia, mengikat pertanian Indonesia pada kapitalisme, membuat petani Indonesia kecanduan pupuk dan pestisida, memperlebar jurang kesenjangan kepemilikan lahan. 

    Dengan menggunakan paradigma Moore, kita akan paham bahwa persoalan harga bahan pangan TIDAK BOLEH dilihat semata dari aspek ekonomi. Harga bahan pangan adalah momen, satu simpul yang mengikat jaring-jaring persoalan ekonomi, politik, ideologi, struktur kelas, industri, teknologi, kualitas tanah, perubahan iklim, dan masih banyak lagi. Dan, yang terpenting, benang merah dari keseluruhan problem ini adalah kapitalisme dan pengejaran tanpa ampun atas profit. 

    Salah satu argumen mengenai kenaikan harga beras belakangan ini mengatakan bahwa kenaikan ini dipicu oleh terjadinya pembatasan impor beras, adanya ketentuan harga minimum pembelian beras dari petani, mahalnya biaya distribusi, serta minimnya investasi teknologi pertanian.[6]Argumen lain menyatakan bahwa kenaikan harga beras ini dipicu oleh kenaikan harga pupuk dan beberapa biaya variabel lain, kondisi panen yang terbatas, dan menipisnya stok Bulog.[7]

    Sebagaimana dapat dilihat, persoalan harga beras saat ini dipandang sebagai “persoalan ekonomi”. Pandangan yang sempit ini menyebabkan keterbatasan analisa hanya pada faktor-faktor ekonomi. Kita ambil saja, misalnya, soal biaya distribusi. Di sini ada faktor ekonomi-politik, yakni kecilnya skala usaha tani, di mana sebagian besar petani tidak memiliki alat pengangkutan. Dengan demikian, petani Indonesia tergantung pada pengusaha angkutan yang dapat mengenakan biaya semena-mena pada mereka. Belum lagi kondisi rusaknya jalan tanpa adanya alternatif angkutan logistik beras. Di samping itu, ada faktor geografis di mana sentra produksi beras masih terpusat di Pulau Jawa, yang menghasilkan 2/3 dari produksi beras nasional.[8]Kondisi geografis Indonesia yang lokasi daratannya sangat tersebar jelas menuntut desentralisasi produksi beras. Dengan terkonsentrasinya produksi beras di Jawa, jelas biaya transportasi beras menjadi sangat mahal. 

    Dengan paradigma Moore kita akan dapat pula melihat bahwa persoalan “naiknya harga pupuk” dan “kurangnya investasi untuk riset teknologi pertanian” adalah dua hal yang berkait-kelindan. Kenaikan harga pupuk menjadi persoalan karena ketergantungan petani Indonesia pada pupuk industrial. Skala usaha yang kecil juga tidak memungkinkan petani Indonesia menetapkan teknologi pertanian yang modern—kecuali pupuk dan pestisida. Keterikatan pertanian Indonesia pada pupuk dan pestisida jelas sesuatu yang menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan pupuk dan kimia. Profit dari kedua sektor bisnis ini niscaya lebih besar daripada profit yang dapat diperoleh dari sektor usaha pertanian padi. Karena kapitalisme adalah tenaga penggerak (motive force) pertanian Indonesia sejak jaman Orde Baru, tidak akan mengherankan jika investasi di sektor pupuk masih dianggap menguntungkan sekalipun terjadi kenaikan harga gas bumi (yang menjadi bahan baku utama pupuk)—dan, dari tahun 2017-2022, permintaan pupuk terus naik bahkan di saat pandemic.[9]

    Kecenderungan untuk melihat gejala kenaikan harga beras hanya dari sudut pandang ekonomi niscaya berujung pada satu solusi saja: lebih banyak impor beras. Kebijakan seperti ini hanya akan bermanfaat untuk stabilisasi harga beras (di tingkat konsumen) dalam jangka pendek namun tidak akan berarti untuk perbaikan kondisi pertanian dan kesejahteraan petani Indonesia dalam jangka panjang. 

    Untuk dapat memperbaiki pertanian Indonesia, kita perlu perbincangan multi-disiplin. Para ahli dari berbagai bidang—mulai dari sosial, ekonomi, politik, agraria, iklim, pertanahan—harus mulai berdialog untuk memecahkan masalah multi-dimensional ini. Dan perbincangan ini harus diawali dengan pemahaman bahwa sektor pertanian Indonesia telah berada di bawah cengkeraman kapitalisme—dan saat ini terus direorganisasi oleh kapitalisme untuk menghasilkan profit sebesar-besarnya bagi dunia korporasi. 

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    1 COMMENT

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here