More

    Wajah Perempuan Masa Kini Dalam Pementasan “Sindhen”

    Ahmad Fauzan Sazli

    30 12 2013 Mahasiswa UNY Pentaskan Sindhen

    Pementasan teater Dhingklik berjudul “Sindhen” di Universitas Negeri Yogyakarta. FOTO : UNY

    - Advertisement -

    Pecahnya revolusi Perancis pada abad ke-18, mengantar perempuan Eropa berani mensejajarkan diri dengan laki-laki. Usaha para perempuan Eropa untuk berperan serta dalam tatanan sosial dan kedudukan sosial pun mulai mendapat tempat.

    Hal tersebut juga terjadi pada Semi, seorang sindhen kenamaan dari desa Watugundul. Semi adalah seorang perempuan berparas cantik dan bersuara emas. Kemasyhurannya dalam menembang sudah terkenal hingga ke pelosok desa hingga provinsi.

    Prestasinya yang gemilang tidak serta merta mengubah posisinya sebagai seorang perempuan dan istri dalam rumah tangga. Semi juga tetap bersusah payah menyuarakan haknya sebagai seorang perempuan. Ia berdebat hebat dengan suaminya terkait kedudukan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga.

    “Jaman sekarang itu sudah tidak musimnya lagi perempuan mlungker terus di rumah. Perempuan itu bukan pitik babon! Bukan cuma disuruh tinggal terus di dapur! Bukan babu! Ingat, ingat! Jangan kelewatan bodohmu itu!” jelas Semi suatu ketika kepada suaminya.

    Cerita Semi ini merupakan pementasan teater yang berjudul “Sindhen” yang disuguhkan oleh Komunitas Teater Dhingklik pada acara pentas tertutup Parade Teater mahasiswa Pendidikan  Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) dan Bahasa dan Sastra Indonesia (BSI,) Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Yogyakarta, pada Senin 23/12/2013 lalu di Stage Tari Tedjokusuma UNY.

    Dalam pementasan tersebut, tak hanya Semi yang tak ingin takluk begitu saja dibawa kekuasaan laki-laki.  Ada juga istri Raden Lurah Tanpasembada. Istri Raden Lurah tersebut  ngamuk ketika suaminya sibuk mengurus Semi hingga menelantarkannya dan anak-anaknya.

    Langkah untuk menggugat cerai pun diambil oleh perempuan pencemburu tersebut. Ia tidak gentar dengan bayang-bayang kehidupan dihimpit kesulitan setelah perceraian. Ia mengambil sikap tegas terhadap sikap suaminya yang dinilai telah menelantarkan kewajiban terhadap dirinya dan anak-anaknya tersebut.

    Ia bahkan tidak minta harta gono-gini sedikit pun dari suaminya ketika mereka benar-benar bercerai kelak.

    Panggah Waluyo selaku sutradara mengatakan bahwa isu yang hendak diangkat dalam naskah ini adalah isu persamaan hak perempuan atas laki-laki dalam rumah tangga. Ia menjelaskan bahwa pementasan ini juga mencoba menyentil fenomena pada masa Orde Baru, ketika pemimpin begitu sembrono memilih menteri.

    “Hal tersebut terlihat ketika sikap Dewa Guru Khayangan yang secara serampangan menghendaki Semi diboyong ke Kayangan setelah gusar menyaksikan kemerosotan kinerja para Dewa. Padahal kemampuan Semi hanya sebatas nembang saja tidak pada persoalan mengurus negeri khayangan,” jelasnya.

    Komunitas Teater Dhingklik merupakan salah satu komunitas yang tampil pada acara Parade Teater mahasiswa tersebut.  Sebelumnya serangkaian pementasan telah tampil antara lain ”Matahari di Sebuah Jalan Keci” karya Arifin C Noer yang dipentaskan oleh Teater Tempur, ”Sang Pelacur” karya Pedro Sudjono yang akan dipentaskan oleh Teater Malam, 16 Desember.

    Kemudian, ”Senja dengan Dua Kelelawar” karya Kirdjo Mulyo yang dipentaskan oleh Kerangka Production, 19 Desember ”Perjuangan Suku Naga” karya WS Rendra yang dipentaskan oleh Teater Nol Koma.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here