More

    Pendidikan Inklusi Memberikan Harapan Kepada Semua Anak

    “ngobrol bareng” bertajuk “Pendidikan inklusif untuk semua di KaKa Jalan Tirtayasa no 49 Bandung, Jumat, (29/04/2016).  Foto : Frino
    Ngobrol bareng bertajuk “Pendidikan inklusif untuk semua” di KaKa, Jalan Tirtayasa no 49 Bandung, Jumat, (29/04/2016). Foto : Frino

    Ana Kartinah, guru sekolah di SDN Cihaurgeulis, Bandung hari itu merasa senang, Dea Hamdani (12 tahun) anak didiknya dapat berbicara dengan keras dengan penuh percaya diri di depan banyak orang saat berbagi pengalaman dalam acara “ngobrol bareng” bertajuk “Pendidikan inklusif untuk semua di KaKa Jalan Tirtayasa no 49 Bandung, Jumat, (29/04/2016). Sikap dan rasa kepercayaan diri Dea ini berubah setelah satu tahun ia bersekolah di SDN Cihaurgeulis, Bandung.

    Tak hanya itu, yang membahagiakan lainnya dari Dea adalah, anak yang duduk di kelas dua SD ini memiliki nilai Matematika 90. Sementara nilainya yang lain rata-rata 80.

    Dea memang anak yang istimewa. Anak perempuan yang seharunya duduk di kelas enam SD ini mengalami cerebral palsy, yaitu suatu kondisi terganggunya fungsi otak dan jaringan saraf yang mengendalikan gerakan, laju belajar, pendengaran, penglihatan, dan kemampuan berpikir. Namun, karena dibimbing dengan guru yang sabar dari kelas satu hingga sekarang, banyak perubahan positif dialami Dea.

    - Advertisement -

    “Kalau dulu dia ngomongnya pelan dan tidak kedengaran. Sekarang lebih keras dan kedengaran. Dia juga lebih berani menghadapi orang lain” kata, Ana Kartika, guru yang selalu membimbing Dea.

    Ana mengatakan, hal itu karena Dea diperlakukan dengan baik dan sabar oleh gurunya. Dari kelas satu ia mendapatkan wali kelas yang baik dan memahami Dea.

    Selain itu, Dea juga tidak dibedakan. Dia boleh ikut baris-berbaris dan memilih dia duduk dimana dia mau di dalam kelas. Hingga akhirnya saat kelas dua, Dea lebih berani.

    “Dea itu mengerti dengan pelajaran, namun daya tangkepnya agak lambat. Ketika yang lain sudah selesai dia belum selesai. Dia juga nulisnya tangan kiri,” kata Ana.

    Sementara itu menurut Wiwied Trisnadi, Project Manager Save The Children mengatakan, pendidikan yang ramah bagi anak-anak memberikan harapan semua anak Indonesia bisa sekolah. Asalkan paradigmanya adalah pendidikann harus memihak kepada anak-anak.

    “Guru harus melihat kemampuan anak. Kemudian menyesuaikan pendidikan yang diberikan sesuai dengan kemampuan tersebut. Bukan sekolah menerapkan pendidikan sesuai yang dia mau,” kata Wiwied.

    Dalam kasus Dea, kata Wiwied, standar pendidikan akan berbeda dengan anak yang lain. Tidak bisa anak yang memiliki hambatan motorik diberikan standar yang sama.

    “Jangan hitung anggota tubuhnya tinggal berapa, tapi apa yang dia butuhkan, apa yang bisa dilakukan,” terang Wiwied.

    Wiwied menjelaskan, bila ada anak yang berjalan saja terjatuh. Tapi kemudian dia mampu berlari mengelilingi lapangan, penilaiannya berbeda dengan anak yang tidak memiliki keterbatasan.

    “Jadi kurikulum dan metode belajar yang ada harus menyesuaikan dengan kemampuan anak-anak. Seperti anak-anak yang membeli topi ukurannya kekecilan, apakah kepalanya harus dipotong agar kepalanya muat,” ungkap Wiwied.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here