More

    Sejarah Marsinah dan Tunas Perlawanan di Unisba

    Encep Sukontra

    Sebuah topi petani menutupi moncong senapan di antara tumpukan bangku-bangku kuliah. Di sela kaki bangku dipasang beberapa bilah bambu runcing yang menengadah ke langit-langit. Sebuah interpretasi dari kisah perjuangan tokoh buruh Indonesia, Marsinah.

    Instalasi seni "Membangunkan Marsinah" karya Harry Brahma, anggota Studi Teater Unisba (Stuba) dan juga alumnus Fikom Unisba dipamerkan di ruang Aquarium Unisba, Tamansari, Bandung (09-15/05/2016).
    Instalasi seni “Membangunkan Marsinah” karya Harry Brahma, anggota Studi Teater Unisba (Stuba) dan juga alumnus Fikom Unisba dipamerkan di ruang Aquarium Unisba, Tamansari, Bandung (09-15/05/2016).

    Instalasi seni tersebut berdiri di tengah Ruang Aquarium Universitas Islam Bandung (Unisba) yang merupakan bagian dari rangkaian peringatan kematian aktivis buruh Marsinah bertajuk “Membangunkan Marsinah,” sebuah acara yang digagas Studi Teater Unisba (Stuba) dan Keluarga Mahasiswa Jurnalistik (KMJ) Fikom Unisba.

    Masih ada bingkai foto buruh, kubus-kubus dari koran yang menampilkan stensilan wajah perempuan dengan garis-garis hitam, Marsinah. Instalasi berjudul “Membangunkan Marsinah” karya Harry Brahma, anggota Studi Teater Unisba (Stuba) dan juga alumnus Fikom Unisba, itu dikelilingi kawat berduri.

    - Advertisement -

    Lewat instalasi bangku kuliah, mahasiswa diharapkan tidak hanya duduk-duduk saja kuliah, apalagi terjebak hedonisme. Mahasiswa diajak untuk terus berjuang demi tegaknya keadilan.

    Sementara senapan dan bambu runcing sebagai simbol perlawanan. Senapan yang moncongnya tertutup topi petani menunjukkan bahwa semangat perlawanan harus membumi, misalnya membela petani atau buruh yang selama ini menjadi pihak tertindas.

    “Pola perjuangan mahasiswa kini harus membumi, ada keberpihakan pada petani atau buruh atau rakyat kecil. Dan kita tidak harus mengidolakan tokoh yang jauh di luar negeri, di kita ada Marsinah,” jelas Harry seraya menunjuk pada stensilan Marsinah.

    Selain instalasi, kampus Unisba pun menjadi ruang seni perlawanan dengan menyajikan pameran foto karya KM Jurnalistik Fikom Unisba, pameran lukisan karya Besty Rahulasmoro, pameran topeng, serta pameran buku-buku bertema perlawanan dan pemberontakan.

    Acara “Membangunkan Marsinah” digelar terkait Hari Buruh Internasional (May Day) 1 Mei lalu sekaligus memeringati 23 tahun kematian Marsinah. Marsinah dibunuh pada jaman Orde Baru berkuasa, tepatnya 8 Mei 1993. Diduga kuat pembunuhan Marsinah terkait erat dengan aktivitasnya dalam memperjuangkan kaum buruh.

    Pimpinan produksi “Membangunkan Marsinah” yang juga Sekretaris Stuba, Muhammad Yogi Rizal, mengatakan bagi generasi masa kini Marsinah mungkin menjadi sosok kurang dikenal. Padahal di kalangan buruh dan aktivis pergerakan, Marsinah menjadi ikon perlawanan terhadap rezim penindas.

    “Lewat acara ini kami harap mahasiswa masa kini mendapat informasi tentang Marsinah. Kami ingin menyampaikan bahwa Marsinah adalah sosok inspiratif. Di masa Orde Baru yang represif, Marsinah bisa melawan. Nah kita yang hidup jauh setelah reformasi mestinya tidak diam saja,” kata Muhammad Yogi Rizal.

    Rangkaian “Membangunkan Marsinah” dimulai Senin (09/05/2016) sampai Minggu (15/05/2016). Selain pameran, acara yang mendapat dukungan dari LBH Bandung, KontraS, penerbit dan toko buku Ultimus dan Lumbung Buku ini juga dimeriahkan puisi dari Forum Teater Kampus Bandung dan pantomim dari Wanggi Hoediyatno Boediardjo.

    Pementasan monolog yang diperankan Shela Karina pula terbilang sukses. Ratusan anak-anak muda terlihat serius “belajar” memperjuangkan rasa keadilan dari kisah Marsinah. Di bawah langit gelap, pelataran parkir Unisba telah memantik rasa duka yang dalam. Kisah buruh perempuan yang memperjuangkan haknya sebagai manusia yang berdaulat di muka bumi ini.

    Di tempat yang sama, garis perjuangan rupanya terus berkobar. Tidak mati seperti yang dituduhkan orang-orang. Bahwa mahasiswa Unisba telah terlempar jauh dari kenyataan dan jauh dari persoalan rakyat.

    Anak-anak muda yang duduk setia itu, telah menjadi saksi kunci. Bahwa rasa tidak nyaman, rasa sakit, rasa kehilangan dari kisah Marsinah telah menjadi tunas baru perlawanan di dalam jiwa mereka. Lewat rangkaian demi rangkaian acara “Membangunkan Marsinah”, setidaknya mahasiswa punya kesadaran bahwa bagaimana pun pahitnya, perjuangan orang baik takkan pernah kalah. Tidak pula menyerah.

    Begitulah anak muda, begitulah kita seharusnya. Melawan![]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here