More

    Seni Rupa Jabar : Antara Pusat dan Pinggiran

    ENCEP SUKONTRA

    Delapan puluh tujuh seniman memamerkan karya seni rupa mereka dalam Pameran Seni Rupa Jawa Barat bertema “Zona#1: Versi-Resepsi” di Thee Huis Gallery – Taman Budaya Jawa Barat, Jalan Bukit Dago Selatan, No.53 A, Bandung, 22 – 30 Agustus 2016.

    seni rupa jawa barat
    Karya Dicky dan Rizky dalam pameran seni rupa “Zona#1: Versi-Resepsi” yang mengisahkan Romusha (kerja paksa) pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia di Thee Huis Gallery – Taman Budaya Jawa Barat, Jalan Bukit Dago Selatan, No.53 A, Bandung, 22 – 30 Agustus 2016.

    Mayoritas karya seni rupa berupa lukisan di atas kanvas. Para seniman berasal bukan hanya dari Bandung yang selama ini menjadi pusat seni rupa Jawa Barat, melainkan dari Subang, Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Purwakarta dan daerah-daerah lain.

    - Advertisement -

    Para seniman datang dari daerah yang selama ini kegiatan seni rupanya “tertutupi” Bandung.

    Isu pusat dan pinggiran pun mencuat dalam diskusi yang menjadi rangkaian “Zona#1: Versi-Resepsi” dengan narasumber Aminuddin TH Siregar (Dosen FSRD ITB) dan Heru Hikayat (Kurator Platform3), Selasa (23/08/2016).

    Bandung menjadi salah satu kota di Indonesia yang menjadi pusat seni rupa. Sebagai pusat, mau tidak mau daerah lain di pinggiran harus merapat ke pusat untuk mengenalkan karya seni rupanya.

    “Kita harus merapat ke pusat yang sistemnya lengkap,” kata Heru Hikayat.

    Sistem tersebut meliputi galeri, kurator, pasar atau pembeli seni rupa, dan tentu saja uang. Menurut Heru Hikayat, pola pusat-pinggiran terlihat dari komposisi pameran Seni Rupa Jawa Barat yang hampir semuanya menyajikan seni rupa jenis lukisan di atas kanvas.

    Bicara seni rupa identik dengan lukisan di atas kanvas, meski sebenarnya seni rupa bukan hanya lukisan. “Karena lukisan di atas kanvas, maka dalam pameran perlu merapat ke dinding. Ini menunjukkan pola pikir yang merapat ke pusat,” kata penulis artikel seni rupa itu.

    Sebab jika tidak merapat ke pusat, ada keyakinan bahwa seni rupa di pinggiran akan tetap menjadi pinggiran. Di pusat ada sistem tadi yang tidak dimiliki daerah di pinggiran.

    Dengan kondisi itu, perlu dibangun sistem yang tidak tergantung pada pusat, serta perlu terobosan agar hubungan pusat dan pinggiran tidak hirarkis. Dengan paradigma yang hierarkis potensi seni rupa di pinggiran akan terus tertutupi pusat. Padahal jika dipilah, banyak daerah yang memiliki potensi seni rupa.

    “Cuman jangan-jangan tidak terlihat karena paradigmanya mengacu ke pusat,” ujarnya.

    Heru Hikayat memuji upaya Arief Yudi yang mendirikan Jatiwangi Art Factory (JAF). JAF dinilai sebagai upaya mendobrak paradigma pusat-pinggiran. Jatiwangi merupakan daerah “pinggiran” yang jauh dengan pusat baik Bandung maupun Jakarta.

    Namun Arief Yudi, kata Herru Hikayat, melalui JAF-nya telah memangun pusat baru. Arief Yudi membangun galeri, mengundang seniman dan kolektor seni, “supaya tidak jadi pinggiran, Jatiwangi menjadi pusat baru. Tapi itu tidak mudah,” kata Herru Hikayat.

    Jatiwangi merupakan sentra genteng sejak awal abad ke-20. JAF berusaha merumuskan tanah sebagai bagian dari identitas mereka. Dari penafsiran identitas lokal itu lahirlah, misalnya, gitar yang terbuat dari tanah liat, tanah yang sama dipakai sebagai bahan membuat genteng. Gitar sendiri merupakan karya seni yang berasal dari pusat.

    “JAF menafsirkan gitar dengan nilai-nilai lokal. Saya salut dengan JAF,” tandasnya.

    Untuk membongkar paradigma pusat-pinggiran diperlukan terobosan atau dobrakan oleh seniman. Seorang pelukis Prancis Marcel Duchamp (1887-1968), tutur Heru Hikayat, pernah mengkritik dunia seni rupa dengan mengirimkan pispot untuk dipamerkan sebagai karya seni.

    Namun Pispot yang tadinya sebagai aksi protes Duchamp kemudian dianggap sebagai karya seni.

    “Cara pikir ini membongkar apakah seni rupa harus selalu lukisan di atas kanvas. Kita harus perhitungkan agar tidak berada di pinggiran dan diremehkan oleh yang berada di pusat,” katanya.

    Namun pada kenyataannya seniman di Jawa Barat menghadapi zona pusat-pinggiran. Aminuddin TH Siregar yang juga Kurator Galeri Soemardja ITB membeberkan peta seni rupa yang ada saat ini, baik di lingkup global maupun lokal. Para seniman tidak bisa melewatkan peta seni tersebut begitu saja.

    Heru Hikayat (Kurator Platform3, kiri) dan Aminuddin TH Siregar (Dosen FSRD ITB, kanan) saat diskusi Seni Rupa Jawa Barat bertema “Zona#1: Versi-Resepsi” di Thee Huis Gallery – Taman Budaya Jawa Barat, Jalan Bukit Dago Selatan, No.53 A, Bandung, 23 Agustus 2016. Pameran berlangsung hingga 30 Agustus 2016. FOTO : Encep Sukontra
    Heru Hikayat (Kurator Platform3, kiri) dan Aminuddin TH Siregar (Dosen FSRD ITB, kanan) saat diskusi Seni Rupa Jawa Barat bertema “Zona#1: Versi-Resepsi” di Thee Huis Gallery – Taman Budaya Jawa Barat, Jalan Bukit Dago Selatan, No.53 A, Bandung, 23 Agustus 2016. Pameran berlangsung hingga 30 Agustus 2016. FOTO : Encep Sukontra

    NEW YORK dan Seni Rupa Global
    Di lingkup global, kata kurator yang akrab disapa Ucok, Amerika Serikat (AS) kini menjadi pusat seni rupa dunia. Ini tidak lepas dari pengaruh Perang Dunia 2. AS adalah salah satu negara pemenang perang yang tidak banyak mengalami kehancuran. Berbeda dengan sekutunya di Eropa seperti Inggris yang luluhlantak akibat Nazi Jerman.

    Ketika negara-negara di Eropa berusaha melakukan pemulihan akibat perang, AS sudah lebih dulu membangun ekonomi yang segera diikuti dengan perkembangan seni rupa. Padahal sebelum perang, seni rupa terpusat di Eropa.

    Namun jika dipetakan, kata Ucok, tidak semua kota atau negara bagian di AS menjadi pusat seni rupa. Pusat seni rupa hanya ada di satu kota, yakni New York.

    “Sampai sekarang New York jadi kiblatnya seni rupa dunia. Seniman Indonesia dari dulu sampai sekarang kiblatnya ke New York. Misalnya AD Pirous, meski melukis kaligrafi kiblatnya tetap ke New York bukan ke Kabah. Tentu saat salat kiblatnya ke Kabah,” kata Ucok seraya tertawa.

    Seniman yang dikenal di New York sudah pasti menjadi seniman sukses. Di sana ada ribuan galeri dan kolektor seni yang siap membeli karya dengan harga berapapun. Namun seniman perlu usaha sangat keras agar karyanya bisa tembus ke New York.

    Sebelum ke New York, seorang seniman harus melewati proses panjang dari bawah, bahkan dari pameran-pameran kecil di lingkup lokal. Sehingga perlu diketahui juga peta seni rupa di lingkup lokal. Heri Dono menjadi satu dari sekian seniman yang merangkak dari lokal ke pentas global. “Heri Dono sudah ke tahap makrifat,” ujarnya.

    Ucok mengungkapkan, di Indonesia hanya ada tiga kota yang menjadi pusat seni rupa, yakni Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Ketiga kota ini sudah menjadi pusat perkembangan seni rupa sejak jaman kolonial hingga kini. Di tiga kota ini sudah sistem mulai aksesibilitas, kolektor, kurator, sekolah seni, dan galeri besar maupun kecil.

    Dengan kondisi tersebut, seniman Indonesia yang berada di “pinggiran” harus mau merapat ke tiga kota yang menjadi pusat itu. Di Bandung pun pusat-pusat seni rupa terbagi lagi dalam beberapa titik di utara, mulai dari ITB, Selasar Sunaryo Art Space, NuArt, dan lain-lain. Sedangkan di selatan Bandung, seni rupa kurang berkembang meski ada beberapa galeri dan seniman.

    Ucok mengatakan, terpusatnya seni rupa di utara Bandung tidak lepas dari kebijakan kolonila yang membagi Bandung menjadi utara-selatan dengan batas rel kereta api. Utara adalah kawasan pemukiman elit yang dihuni orang-orang Eropa, sedangkan selatan kebanyakan dihuni kaum pribumi.

    “Tentu paradigma kolonial tersebut tidak bisa lagi dipakai untuk masa sekarang ini. Tetapi kita menghadapi kenyataan seperti itu, bahwa seni rupa banyak berkembang di utara Bandung,” kata Ucok. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here