More

    Memahami Posisi Indonesia di Kancah Internasional

    Iman Herdiana

    Desmon Satria Andrian memberikan materi Workshop Ramadhan: “Sistem Internasional: Anarki atau Hirarki” di KaKa Cafe, Jalan Sultan Tirtayasa, Bandung. Dok. KaKa

    BANDUNG, KabarKampus – Negara-negara di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu kelompok price center sebagai pembuat kebijakan dan kelompok price taker, yaitu kelompok yang menerima kebijakan internasional. Lalu Indonesia masuk ke kelompok mana?

    Pertanyaan tersebut dibedah lewat Workshop Ramadhan: “Sistem Internasional: Anarki atau Hirarki” di KaKa Cafe, Jalan Tirtayasa Bandung. Workshop ini diisi oleh Desmon Satria Andrian, di KaKa Cafe, Jalan Sultan Tirtayasa, Bandung.

    - Advertisement -

    Workshop dibagi ke dalam empat pertemuan, yakni tanggal 21-31 Mei 2018. Workshop yang dibatasi 20 peserta ini bertujuan mengajak peserta membedah isu internasional dengan pisau analisa yang pas.

    Desmon Satria Andrian yang juga pegiat Asia Africa Reading Club mengatakan, hingga kini ada 198 negara di dunia, termasuk Indonesia, yang terdaftar menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dari kaca mata internasional, ke-198 negara ini punya pola prilaku yang mirip, cenderung berkontra, beraliansi, akur dan tidak akur.

    Sistem internasional memandang isu dunia berdasarkan ekonomi dan politik. Ekonomi terkait kesejahteraan. Sedangkan politik terkait kekuasaan. Untuk mencapai kesejahteraan maka diperlukan kekuasaan. Sebaliknya penyelenggaraan kekuasaan memerlukan kesejahteraan.

    Pandangan geopolitik dan geoekonomi dalam sistem internasional muncul pasca-perang Dingin. Desmon kemudian menunjukkan gambar sebuah piramida yang bagian tengahnya digaris horizontal.

    Ilustrasi Jalur Sutra.

    Menurutnya, sebanyak 198 negara itu terbagi pada kelompok atas dan bawah piramida. Di bagian atas piramida adalah kelompok price centre yang mendesain kebijakan, menentukan harga dan biaya produksi. Di bagian bawah piramida adalah kelompok price taker yang tidak punya keputusan dan wewenang untuk negosiasi.

     

    Sehingga jika ada demonstrasi yang menolak perdagangan bebas dan isu politik ekonomi internasional  lainnya, mereka bisa dipastikan berasal dari negara-negara price taker, bukan dari price centre.

    Negara-negara yang termasuk price centre awalnya sejumlah negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Sedangkan negara price taker adalah semua negara di dunia ketiga, termasuk Indonesia.

    Contohnya, tidak sedikit produk fesyen bermerek internasional yang diproduksi di Indonesia, salah satunya di Bandung.

    Selesai diproduksi, produk fesyen tersebut kemudian dikirim ke negara pemilik merek untuk diberi logo. Setelah diberi logo, harga produk tersebut naik hingga 1.000 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan harga produksi awal.

    “Mereka, price centre yang menikmati 1000 persen. Sedangkan limbahnya di sini, masalah sosialnya di sini, sengketa buruhnya di sini,” kata Desmon.

    Dalam perkembangannya, negara yang menempati posisi price centre dan price taker mengalami perubahan. Negara-negara di Asia Tenggara yang semula disebut dunia ketiga, kini menjadi kawasan yang dipertaruhkan dan diperhitungkan. Indonesia masuk dalam hitungan ini.

    “Makanya ketika Uni Eropa memberi hambatan kepada Garuda Indonesia itu cerita di masa lalu. Karena mereka tidak bisa menutup mata, penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam itu paling ramai,” katanya.

    Jadi, komposisi negara price centre tanpa disadari bergeser dari Eropa Barat ke Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Negara-negara maju di Asia meliputi China, Jepang, Korea Selatan, India. Namun tampaknya Indonesia sendiri belum beranjak dari negara dengan posisi price taker.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here