More

    Apa Saja Kreteria Material Baju Hazmat yang Aman?

    Ilustrasi / Dok. UI

    Terbatasnya baju Hazardous Materials (Hazmat) untuk menangani pasien Covid-19, membuat pengusaha konveksi kebanjiran order membuat salah satu Alat Perlindungan Diri (APD) tersebut. Namun, tidak semua baju Hazmat sesuai dengan standar medis seperti yang ditetapkan WHO maupun Uni Eropa.

    Lalu seperti apakah standar medis baju Hazmat?

    Dr Widyastuti SSi MSi, dosen Departemen Teknik Material ITS menjelaskan, terdapat beberapa standar yang digunakan dalam pembuatan APD Hazmat ini. Baik standar dari World Health Organization (WHO) maupun standar Uni Eropa (EU), baju Hazmat harus mencantumkan kemampuan menapis hazmat, jenis material, batasan, masa berlaku, ukuran, kompatibilitas dan informasi penting lainnya.

    - Advertisement -

    “Pakaian sehari-hari saja harus mencantumkan jenis bahan dan cara pencucian, apalagi baju pelindung Hazmat sudah seharusnya juga mencantumkan itu semua,” ujarnya seperti yang disiarkan di laman ITS, Jumat, (29/05/2020).

    Dosen yang kerap disapa Widya ini mengatakan, material APD Hazmat umumnya tergantung dengan jenis hazmat yang ditapis. Di antaranya adalah polipropilena (PP) dalam bentuk serat mikro maupun serat polietilena (PE) sebagai pelindung terhadap partikulat kering atau basah.

    APD Hazmat terkadang juga menggunakan lapisan polietilena atau polipropilen sebagai pelindung dan penghalang fluida. Khusus untuk penanganan Covid-19, material baju hazmat yang digunakan oleh tenaga medis harus lolos uji resistensi terhadap penetrasi darah dan cairan tubuh.

    Widya menyampaikan, material APD dapat dibedakan menjadi sekali pakai (disposable) dan dapat dicuci ulang (reusable). Biasanya tertera keterangan dapat atau tidaknya APD ini dicuci. “Apabila keterangan menunjukkan tidak dapat dicuci ulang, maka APD harus dibuang setelah dipakai,” jelasnya.

    Widya juga memaparkan, APD yang dapat dicuci ulang menggunakan material serat polimer plastik woven fabric dengan serat yang berukuran besar. Sedangkan APD sekali pakai menggunakan material serat polimer plastik nonwoven fabric dengan serat yang berukuran kecil.

    Lebih lanjut Widya menyampaikan bahwa kenyamanan juga menjadi hal penting dalam pembuatan APD Hazmat. Kenyamanan ini dapat diukur dengan laju transmisi uap air atau yang dikenal dengan Moisture Vapor Transmission Rate (MVTR). Secara sederhana, nilai MVTR diartikan sebagai kemampuan untuk melewatkan udara. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nilai MTVR mulai dari jenis bahan hingga pola tenunan kain. “Semakin tinggi nilai MTVR, semakin tinggi pula kemampuan material untuk bernafas,” tuturnya.

    Ia menyatakan bahwa berdasarkan arahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), APD di Indonesia dapat dikembangkan dari bahan alternatif berbasis polyurethane dan polyester. Bahan ini telah direkomendasikan oleh American Chemical Society (ACS). ACS menyatakan bahwa kombinasi kain dengan polyester dengan ukuran yang pas di badan dapat menahan 80 hingga 90 persen partikulat aerosol yang berukuran hingga 10 nanometer. “Material polyester ini aman dan tidak berpotensial untuk menyebabkan iritasi pada kulit, mata dan pernafasan,” ujarnya.

    Analisis terhadap baju Hazmat ini dilakukan Widya bersama tiga rekan dosen ITS lainnya yaitu Dr Eng Hosta Ardhyananta ST MSc (ketua tim), Azzah Dyah Pramata ST MT MEng PhD, dan Diah Susanti ST MT PhD. Ketiganya juga merupakan dosen Departemen Teknik Material ITS.[] 



    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here