More

    Sang Tersangka dan Si Agnostik

    Rindi Danika Sari

    Kyoto, 11 Desember 1997.

    Carbonic acid gas alias Carbonic anhydride alias Karbon Dioksida ditetapkan sebagai tersangka utama kasus Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. ‘Pengadilan’ di Kyoto itu menghasilkan sebuah protokol yang berisi persetujuan Negara-Negara di Dunia untuk menetapkan Karbon Dioksida dan sekutunya sebagai pihak yang mesti disalahkan atas memanasnya suhu Bumi selama dua dekade terakhir. Begitulah, Karbon Dioksida dan geng Gas Rumah Kaca-nya dituduh dengan keji tanpa sanggup membela diri.

    - Advertisement -

    IPCC[1], 30 November 2007.

    Lebih dari 130 negara berkontribusi dalam AR4[2]. Yah, sebagai Homo sapiens yang beradab lagi bijaksana tentu kita tidak tega menuduh Tuan Karbon sebagai tersangka tanpa bukti, bukan? Namun Homo sapiens harus menerima kenyataan yang cukup pahit, karena IPCC mengatakan faktanya manusia-lah yang menyebabkan tingkat CO2 dan GRK di atmosfer meningkat. AR4 menyimpulkan kemungkinan itu ’90 % kenyataan’ based on expert judgement. Jadi, kita mestinya percaya pada yang lebih ahli. Ah, apakah kenyataan itu telah menjadi monopoli para ahli?

    New York Times, 3 Maret 2009.

    The New York Times Magazine mengambil langkah antimainstream. Dengan mengangkat Freeman Dyson sebagai tokoh pahlawannya, NYTimes menangkis tuduhan-tuduhan keji yang ditujukan pada Tuan Karbon dan Homo sapiens. Ia bersedia membuktikan bahwa Tuan Karbon dan Homo Sapiens tidak bersalah dalam kasus Global Warming. Dyson tidak sendiri, cukup banyak yang mempercayainya. Toh NYTimes surveys menunjukkan hasil hanya 85% rakyat Amerika yang mempercayai Perubahan Iklim ataupun Pemanasan Global. Sejumlah pihak juga mempertanyakan keabsahan hasil AR4 dari IPCC[3].

    Indonesia, hingga 2013.

    Telah memasukkan Perubahan Iklim dan Pemanasan Global dalam kurikulum pendidikannya. Program tanam pohon dan tebang pohon masih dilanjutkan, kegiatan pertambangan masih bebas beraktivitas, masyarakat masih bisa membuang sampahnya dimana saja, hanya harga bensin semakin mahal dan ‘Pesta Besar Satu Hari untuk Lima Tahun’ sedang diselenggarakan dengan partai golongan putih sebagai pemenangnya. Indonesia sedang menghadapi kenyataannya sendiri.

    Dunia, saat ini.

    ‘Since Climate Change and Global Warming has become a new religion,’

    Maka seperti kehidupan beragama selayaknya, kita akan menemukan para sufi, atheis, dan kelompok agnostik. Menjadi sufi atau menjadi atheis mungkin tampak terlalu ekstrim sehingga pilihan menjadi agnostik rasanya adalah pilihan yang lebih masuk akal. Lalu bagaimana seorang agnostik mestinya bersikap?

    Ada sedikit saran untuk para agnostik. Pertama, untuk para agnostik yang berbakat, teruslah mencari tahu! Apakah aktivitas manusia secara signifikan telah mempengaruhi iklim atau hal tersebut memang murni adalah sebuah siklus yang telah dijalani Bumi sejak bermilyar-milyar tahun lalu. Kedua, bagi agnostik yang lebih sederhana maka tetaplah menjadi spesies yang bijaksana atas nama ‘komunitas bumi’.

    Jagalah lingkungan sebaik-baiknya dengan ataupun tanpa alasan. Homo sapiens bukanlah spesies yang berhak ‘atas nama kemanusiaan’ mengeksploitasi dan menyalahgunakan kebaikan alam dan lingkungan hidup. Kita adalah bagian kecil dari penyusun ekosistem. Apabila kita merusak sistem itu, tak ada yang pernah tau apakah manusia akan sanggup bertanggung jawab atas akibatnya.[]

     

    [1]Tim bentukan PBB untuk mencari bukti bahwa Pemanasan Global memang terjadi dan disebabkan oleh aktivitas manusia.

    [2]Generasi keempat dari IPCC

    [3]IPCC mengumpulkan fakta dan bukti dengan cara memeriksa dan mengumpulkan hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari seluruh dunia. Bukan dengan melakukan penelitian senddiri.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here