IMAN HERDIANA
Buku “Perlawanan Politik & Puitik Petani Tembakau Temanggung” mendapat ulasan dari dosen sastra Universitas Pasundan H Wawan Setiawan yang akrab disapa Hawe Setiawan. Buku yang diterbitkan KPG 2016 itu berasal dari disertasi doktor Mohamad Sobary.
Buku ini memaparkan kisah pergulatan petani tembakau dalam melawan kebijakan anti tembakau dari Pemerintah RI, khususnya PP 109/2012 yang dirasa memabahayakan kehidupan petani tembakau.
Poin buku ini antara lain memotret puluhan ribu petani tembakau termasuk buruh tani di bawah Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Jawa Tengah. APTI kemuian membentuk laskar kretek. Mereka melakukan serangkaian aksi demonstrasi damai terkait kebijakan anti tembakau.
Kebijakan tersebut awalnya berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang kemudian pemerintah ngotot mensahkannya sebagai PP.
“Nah kebijakan itu saya kira mengancam kelangsungan budi daya tembakau yang sudah jalan ratusan tahun, juga mengancam hak hidup dan usaha petani. Dan saya kira mengancam perdagangan kretek dan pabrik rokok,” katanya.
Mohamad Sobary, kata Hawe Setiawan, dalam penelitiannya menggunakan metodenya etnografi. Catatan-catatan lapangan hasil penelitiannya diramu dengan teknik narasi yang peka sastra dan sarat renungan. Sehingga buku Mohamad Sobary menghasilkan uraian sosial kebudayaan masyarakat tani, latar sejarah, mitologis, agama dimana tembakau menjadi materi dasarnya.
Di bagian tengah buku, lanjut Hawe Setiawan, Mohamad Sobary melakukan analisis terhadap gerakan perlawanan kaum tani termasuk kepemimpinan APTI, ideologinya, Laskar Kretek, hingga anatomi gerakan.
“Yang menarik perlawanan kaum tani ini menekankan aspek politik dan puitik,” ujar Hawe Setiawan yang juga dikenal penulis esai.
Kata puitik, kata dia, bisa diartikan secara sempit dan luas. Dalam arti sempit, buku tersebut mengutip puisi para penyair seperti Sultan Takdit Ali Sjahbana, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Wiji Tujul, WS Rendra, Taufik Ismail hingga puisi dari sastra lisan bahasa Jawa.
Tapi, sambung Hawe Setiawan, kata ‘puitik’ pada buku tersebut juga bisa dimaknai secara luas, dalam bentuk-bentuk ekspresi estetik yang lahir dari kegelisahan petani. Sehingga studi Mohamad Sobary bisa disebut sebagai tafsir budaya yang bertolak dari etnografi perjuangan kaum tani.
Di sisi lain, buku tersebut menyangkut banyak sekali kepentingan, mulai petani, buruh tani, kalangan pemilik pabrik kretek atau industriawan, pemerintah karena menyangkut pokok kebijakan pemerintah, hingga jaringan modal global yang ingin menyudutkan industri rokok kretek Indonesia demi kesusksesan industri rokok putih dan produk-produk mereka.
Hawe Setiawan mempertanyakan posisi dirinya sebagai pembaca di antara berbagai kepentingan tersebut.
“Satu-satunya yang terasa jelas, ialah tindak konsumsi terhadap produk tembakau. Kalau Mas Sobary mulai merokok mulai usia 58, saya mulai merokok mulai SMP bahkan sebelum SMP. Saya kira merokok jadi hal yang wajar,” ceritanya.
Hawe Setiawan mengaku mulai belajar merokok dengan menghisap lintingan daun kawung (aren) milik kakeknya, tanpa tembakau. Daun kawung biasa dipakai untuk melinting tembakau. Berikutnya ia mencoba melinting daun kawung memakai tembakau, lalu beralih ke pahpir atau kertas sangat tipis yang biasa dipakai untuk menggulung tembakau.
Waktu itu ia membeli pahpir dan tembakau di Pasar Baru Bandung.
Seiring perkembangan, lanjut Hawe Setiawan, masuklah produk kretek. Kretek adalah produk industri berupa lintingan tembakau berbumbu cengkih. Kretek adalah rokok beraroma khas Indonesia. Sehingga lintingan tembakau maupun kretek memiliki kaitan erat dengan sistem sosial dan budaya Indonesia.
“Dulu untuk yang cukup miskin ada rokok upet, produk kretek murah, agak gurih sedikit, menengah sedikit ada Sriwedari, Gudang Garam, atau Djarum 76. Yang paling top sudah pasti Dji Sam Soe,” katanya.
Konsumsi rokok menimbulkan suatu perubahan sosial. Rokok kretek merupakan hasil kerja jeras petani tembakau yang kemudian disalurkan pengusaha kretek. Saat produk petani tembakau sampai di masyarakat, lahirlah budaya atau tradisi.
Di masyarakat Sunda dikenal tradisi ngadu bako. ‘Ngadu’ berarti ‘beradu’ atau ‘sharing’, bisa juga dalam pengertian bermain kartu atau ngadu kartu (judi). Sedangkan bako artinya tembakau.
“Ngadu bako sambil udud ngelepus, merokok, menghisap kretek atau cangklong. Tapi ada pengertian konotatif yang lebih penting dari ngadu bako, yaitu terjadinya perbincangan di antara partisipan pertemuan. Biasanya perbincangannya tidak harus selalu perbincangan kaya orang sekolahan yang konseptual dan canggih, tapi perbincangan sehari-hari saja.
Dengan kata lain ngadu bako adalah perbincangan publik,” terangnya.
Selain itu, buku “Perlawanan Politik & Puitik Petani Tembakau Temanggung”, menyentuh tradisi yang tumbuh dari proses yang awalnya diciptakan petani tembakau yang kemudian menghasilkan perubahan sosial, antara lain ngadu bako atau perbincangan publik.
Tradisi tersebut terancam hilang dalam tatanan demokrasi dewasa ini. Perbincangan publik atau ngadu bako tidak dihargai sebagai bahan pertimbangan tersendiri bagi suatu keputusan atau kebijakan politik.
“Kalau kita baca kesimpulan Mas Sobary di buku ini, ada kritik yang keras sekali terhadap proses pembuatan keputusan politik. Dia mengingatkan kalau mau membuat kebijakan politik yang efeknya akan berkenaan dengan nasib kaum tani, paling tidak suara kaum tani itu dipertimbangkan,” katanya.
Hawe Setiawan menegaskan, Mohamad Sobary melalui karyanya ingin memberikan dorongan untuk menghargai tradisi perbincangan publik yang sudah berlangsung ratusan tahun. Perbincangan publik seperti tradisi ngadu bako lahir dari situasi yang leluasa, bebas dan merdeka.
“Buku ini menurut saya merefleksikan karakteristik penulisannya juga. Di dalam pernyataan perlawanan politik yang disampaikan secara estetik saya kira Sobary sendiri yang sebetulnya berjuang melalui puisi, bukan hanya petani Temanggung, makanya rambutnya gondrong,” ujar dia, merujuk pada penampilan Mohamad Sobary.
Ia mencatat Mohamad Sobary berkali-kali menekankan kata art full sains pada bukunya. Ia mengartikan art full sains sebagai perlawanan petani terhadap kebijakan dengan cara elegan.
“Bukan hanya memperuncing sentiment, tapi mengasah argument. Salah satu teknik yang bagus untuk membuat efek argumen ini adalah teknik sastra yang ada pada Mas Sobary,” katanya. []