Sekarang ini mahasiswa hanya bisa diam. Belajar yang giat agar lulus tepat pada waktunya. Tak ada lagi kritik, tak ada lagi demonstrasi. Kini semuanya tenang, semua jalan lengang.
Itulah bunyi puisi berjudul “Mahasiswa Tidur” yang dibacakan oleh Ahmad Abdul Rozak, dari Studi Teater Unisba di halaman Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Kamis, (01/12/2016). Puisi Rozak ini dibacakan dalam acara Pasar Seni Masalah yang merupakan rangkaian Festival Indonesia Menggugat #3 : Pekan Literasi Kebangsaan yang digelar selama seminggu dari tanggal 1 – 7 Desember 2016.
Mahasiswa yang akrab disapa Zaki ini membacakan puisi tersebut dalam posisi terbalik. Kedua kakinya menggantung di tiang bendera dengan posisi di atas. Sementara posisi kepalanya di bawah.
Ia mengaku, puisi yang dibacakannya tersebut sebagai kritik terhadap mahasiswa sekarang yang selalu ingin lulus cepat, namun melupakan perannya sebagai agen perubahan. Padahal peran mahasiswa cukup besar untuk bisa melakukan perubahan.
“Ini seperti kondisi mahasiswa di kampus saya Unisba. Mahasiswa terlalu memikirkan yang penting lulus. Ngga ada pencapaian untuk melakukan sesuatu yang lebih,” ungkap Zaki menjelaskan alasannya membacakan pusi tersebut.
Zaki merupakan satu dari tiga kelompok mahasiswa yang mengobral persoalan mahasiswa dan kampus di Pasar Seni Masalah. Setelah pertunjukkan Zaki, terdapat tiga mahasiswa yang tergabung dalam Teater Topeng Universitas Maranata yang turut mengekpresikan masalah kampus lewat panggung teater.
Dari tiga mahasiswa yang tampil dua mahasiswa menggunakan pakaian hitam dan putih dengan kalung bertuliskan Calon Sarjana di dada. Sementara kedua tangannya diikat dengan rantai besi yang dikaitkan pada besi yang diduduki pria berjas rapih.
Lewat pertunjukkan ini, mereka ingin mengungkapkan kondisi kampus mereka saat ini. Seakan mahasiswa terbelenggu dalam bangku masing-masing.
Menurut Ardian Wicaksana, salah satu mahasiswa, pertunjukkan ini sebagai ungkapan iri terhadap kampus di luar sana yang memiliki lembaga pemersatu yang disebut BEM. Sementara di kampus mereka tidak ada lembaga tersebut.
“Jadi pertunjukkan ini simbolisasi kondisi mahasiswa yang seakan terkekang dan terbelenggu. Mahasiswa ingin membuat BEM namun selalu ada campur tangan dari atas,” jelas Wicak.
Pentas selanjutnya berasal dari Teater Kolektif ISBI Bandung. Dalam pementasannya mereka menurunkan sebanyak enam mahasiswa yang membawa sejumlah persoalan di kampus. Mulai dari mahasiswa apatis, hedonis, kampus tidak transparan, aturan kuliah wajib lulus lima tahun, dan sebagainya.
Salah satunya dibawakan oleh Noval. Dalam kesempatan itu, Noval tanpa menggunakan baju, ia berkeliling halaman GIM dengan membawa kursi di atas kepalanya.
Noval mengaku, ia menampilkan hal tersebut karena mahaiswa sekarang tidak bisa lepas dari kursi kuliah. Hal itu disebabkan, peraturan yang mewajibkan mahasiswa harus lulus dalam waktu lima tahun. Bila tidak lulus dalam waktu tersebut mahasiswa bisa dikeluarkan.
“Sehingga tujuan mahasiswa kuliah hanya wisuda saja. Padahal di luar sana sebenarnya mahasiswa tidak bisa terlepas dari masyarakat. Makanya saya dalam pertunjukkan ini tidak bisa lepas dari kursi,” ungkap Noval.
Selain itu terdapat juga mahasiswa yang memakai topeng dan di belakang tertuliskan aurat negara, kemudian mahasiswa yang berdandan bak perempuan yang kerjanya selalu berjoget, dan sebagainya.
Pertunjukan teater mahasiswa dari berbagai kampus ini dibuka dengan sebuah pertunjukkan musik dari Sadaya Musik Unikom dan ditutup dengan pertunjukkan Stand Up Comedy mahasiswa Bandung.