More

    Peneliti ITB: Manusia Modern Harus Paham Suku Pedalaman

    IMAN HERDIANA

    Tradisi telinga panjang di masyarakat Dayak, Kalimantan, mendekati kepunahan. Kebijakan pemerintah yang kurang berpihak turut mempercepat kepunahan itu.

    Ati Bachtiar (tengah) dan Pindi Setiawan (kanan, berkacamata), dalam bedah buku “Telinga Panjang: Mengungkap yang Tersembunyi” di Festival Indonesia Menggugat#3: Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, Senin (05/12/2016). FOTO: IMAN HERDIANA
    Ati Bachtiar (tengah) dan Pindi Setiawan (kanan, berkacamata), dalam bedah buku “Telinga Panjang: Mengungkap yang Tersembunyi” di Festival Indonesia Menggugat#3: Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, Senin (05/12/2016). FOTO: IMAN HERDIANA

    Pindi Setiawan, peneliti dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), mengatakan, sebelum zaman Kolonial Belanda, masyarakat Dayak hidup dalam sistem adat. Mereka memiliki strata sosial cukup ketat, yakni bangsawan, penghulu, budak dan seterusnya.

    - Advertisement -

    Para bangsawan baik laki-laki maupun perempuan yang menduduki strata teratas, memiliki tradisi memanjangkan telinga sebagai tanda kebangsawanan. Telinga mulai dipanjangkan sejak kecil dengan cara digantuli anting-anting logam atau gelang.

    “Mereka adalah orang besar, pemilik hutan atau tuan tanah,” terang Pindi Setiawan, di sela diskusi buku karya Ati Bachtiar berjudul “Telinga Panjang: Mengungkap yang Tersembunyi”, rangkaian Festival Indonesia Menggugat#3: Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintiskemerdekaan, Bandung, Senin (05/12/2016).

    Makin panjang telinga masyarakat adat Dayak menunjukkan makin tinggi wibawa. Khusus bagi perempuan, telinga dengan panjang sedada juga sebagai simbol kecantikan.

    Pindi Setiawan menjelaskan, di masyarakat Dayak tidak dikenal istilah orang pedalaman. Masyarakat Dayak terbagi dua, yakni Dayak yang tinggal di hulu sungai dan Dayak pesisir pantai. Tradisi memanjangkan telinga banyak dijalankan Dayak yang tinggal di hulu sungai.

    “Dulu laki-laki dan perempuan sama-sama menjalankan tradisi ini. Sekarang yang tampak tinggal perempuan,” terang dosen yang meneliti “Pemukiman di Dayak Punan Lati (2013).

    Punahnya tradisi memanjangkan kuping di masyarakat Dayak terjadi sejak zaman Belanda lewat kebijakan monopoli hasil bumi Kalimantan. Para bangsawan Dayak sengaja dimiskinkan. Hal ini berdampak pada tradisi.

    Kebijakan tak memihak terhadap tradisi masyarakat Dayak makin parah ketika Orde Baru berkuasa. Orde Baru memandang mereka bukan manusia modern, tetapi sebagai masyarakat tertinggal atau pedalaman.

    Di masa Orde Baru, orang-orang Dayak yang tinggal di hulu sungai disuruh turun gunung agar dekat dengan akses jalan. Mereka terpaksa pindah meninggalkan tanah-tanah mereka.

    Selain itu, muncul kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada tahun 70-an, membuat bangsawan Dayak kehilangan hutan atau tanah mereka. Kebijakan ini otomatis berpengaruh besar pada tradisi memanjangkan telinga.

    “Adaptasi ekonomi yang terus berubah dari zaman Belanda sampai Orde Baru berperan besar dalam mengikis kuping panjang,” terangnya.

    Perkembangan zaman membuat mereka memutuskan tidak melanjutkan tradisi kuping panjang. Ada juga yang terpaksa memotong sendiri kuping mereka.

    Zaman menuntut mereka bersosialisasi dengan masyarakat luar dan kehidupan modern yang tak mengenal tradisi memanjangkan telinga. Mereka merasa malu punya telinga panjang, mereka juga mengalami pindah agama, sekolah, menjadi PNS dan lain-lain.

    Hilangnya tradisi memanjangkan telinga tidak lepas dari ketidakpahaman orang modern maupun pemerintah. Buku karya Ati Bachtiar, kata Pindi Setiawan, bisa jadi gerbang untuk memahami budaya Dayak, khususnya tradisi kuping panjang, yang kurang dipahami pemerintah atau pembuat kebijakan.

    “Itu yang kurang dipahami pemerintah. Harusnya pemerintah banyak ngobrol di lapangan. Pemeritah seringkali tidak tahu permasalahannya,” terang Pindi Setiawan. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here