More

    Tisna Sanjaya vs Nasirun, Islah Kebudayaan Bandung-Yogyakarta?

    Bagai pendekar silat yang lama tak bertanding, keduanya memperlihatkan kepiawaian mengolah rupa. Inikah kolaborasi islah kebudayaan Yogyakarta-Bandung?
    Dua seniman Indonesia, Nasirun (kiri) dan Tisna Sanjaya, melukis cepat dalam acara pembukaan pameran tunggal Jeihan Sukmantoro di Studio Jeihan, Padasuka Bandung Kamis malam(01/06/2017). FOTO : IMAN HERDIANA

    Tisna Sanjaya dan Nasirun turut membuka pameran tunggal maestro Jeihan Sukmantoro bertajuk “Sufi/Suwung” di Studio Jeihan, Jalan Padasuka 143-145 Bandung, Kamis malam (01/06/2017). Keduanya menyajikan pertunjukan langka melukis cepat.

    Dua seniman itu seolah mewakili dua kiblat seni rupa yang ada di Indonesia. Tisna yang juga dosen FSRD ITB mewakili Bandung, sedangkan Nasirun mewakili Yogyakarta. Keduanya melukis dengan gaya masing-masing.
    Tidak butuh waktu lama bagi Nasirun untuk menyelesaikan lukisannya. Semua ide yang ada di kepalanya keluar deras ke atas kanvas. Kanvas sekitar 1 meter persegi ia tidurkan. Sambil membungkuk, pelukis jangkung dan gondrong itu menuang cat yang ada di ember dan tube.
    Ia membuat lingkaran kuning terang di tengah kanvas. Sisi bulatan kuning dilumuri warna biru gelap dengan cat yang sangat cair. Di bawah bulatan itu ia menuangkan cat campuran warna hijau dan biru yang membentuk garis kasar.
    Nasirun nyaris tidak menggunakan kuas, cukup membanjur-banjurkan cat. Di tengah lingkaran kuning ia menulis lafal Allah dengan huruf Arab. Sekilas lingkaran itu seperti bola dunia, tapi tidak juga. Sebab lingkaran itu juga mirip bola kristal. Warna kuningnya kini menjadi agak orange menyerupai warna api. Nasirun sedikit mencipratkan rona merah.
    Ketika lukisan Nasirun selesai, Tisna Sanjaya masih sibuk melukis. Ia memulai melukis dengan melumuri kanvas dengan cat putih kental, lalu ditaburi sejenis arang yang diwadahi panci.
    Di tengah kanvas yang putih itu kini terbentuk lingkaran warna hitam. Seniman yang juga presenter si Kabayan ini memang dikenal dengan lukisan-lukisan gelapnya. Di lingkaran itu, ia membuat tulisan mirip huruf Arab gundul, meski bukan. Ia bikin dengan telunjuknya. Tulisan dibuat spiral seperti obat nyamuk. Di tengah-tengah lingkaran ia membuat lafal Allah.
    Tisna juga tidak menggunakan kuas. Semua proses ia lakukan dengan tangan kosong. Seniman gondrong berkumis ini tampak kelelahan, keringat mengucur di wajahnya. Terlebih, ia memulai melukis di saat menjelang buka puasa. Hampir dua jam ia bisa menyelesaikan lukisan itu.
    Hasilnya, sebuah lingkaran yang tadinya berwarna hitam, kini ditaburi warna krem. Kesamaan lukisan Tisna dengan lukisan Nasirun sama-sama mengolah tema Sang Pencipta.
    Bedanya, Sang Pencipta versi lukisan Tisna didominasi warna gelap, sedangkan versi Nasirun lebih terang. Bagi Nasirun, pertunjukan melukis cepat itu pula sebagai persembahan untuk Jeihan Sukmantoro yang sudah ia anggap sebagai guru sekaligus sahabat.
    Ia menamai kolaborasi itu, “Kolaborasi islah kebudayaan Yogyakarta-Bandung, karena kita dan Tisna Sanjaya sama-sama NU,” ujar Nasirun, setengah berseloroh, meski kenyataannya seniman Yogya dan Bandung kerap berkompetisi.
    Menurut Nasirun, kolaborasi dengan Tisna Sanjaya bukan kali ini saja. Sebelumnya ia pernah berkolaborsi di Yogyakarta, bahkan di luar negeri seperti di Singapura. Sehingga di balik kompetisi seniman Yogya dan Bandung, ada perselingkuhan juga.
    “Dan perselingkuhan menghasilkan karya,” ujarnya, dalam sesi diskusi pameran tunggal Jeihan Sukmantoro itu.
    Tampaknya Nasirun dan Tisna Sanjaya juga karib yang saling memuji. Tahun lalu, kata Tisna, dirinya dan Nasirun residensi di Austria. Kebetulan waktu itu bulan puasa. Austria merupakan negeri yang kebagian puasanya 18 jam sehari, karena matahari di sana lebih lama terbit. Jadi beruntunglah orang Indonesia yang puasanya cuma 14 jam.
    “Di Austria kalau jam tiga itu lagi panas-panasnya. Tapi Nasirun selalu mengingatkan. Beliau puasanya beda, sahurnya sedikit, jam dua sudah berhenti. Tapi merokoknya satu bungkus,” cerita Tisna.
    “Nasirun selalu mengingatkan bahwa puasa bukan dengan fisik, tapi dengan rasa. Nasirun kemudian ngajak saya melukis. Jam 10 sudah mulai melukis.”
    Sedangkan dalam sekali melukis, Tisna mengaku paling cepat butuh waktu dua jam. “Saya hampir saja bocor,” kenangnya sembari terbahak.
    Kehadiran serta “adu silat” Tisna Sanjaya dan Nasirun membuat suasana pembukaan pameran Jeihan Sukmantoro bertajuk “Sufi/Suwung” semakin sarat makna. Bahwa seni lukis di Indonesia itu tidak melulu persoalan teknik atau rupa, tapi juga mengandung spiritualitas senimannya. Seni itu pun menjadi lengkap. []
    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here