JAKARTA, KabarKampus – Kasus pengekangan terhadap Lembaga Pers Mahasiswa oleh pihak kampus makin meningkat saat ini. Kasus-kasus tersebut terjadi di berbagai kampus di Indonesia.
Berdasarkan riset yang dilakukan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sepanjang 2013-2016 terdapat 133 kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 65 kasus justru dilakukan oleh pihak birokrasi kampus berupa intimidasi, perampasan media, hingga penyegelan sekretariat.
“Ini terjadi di kampus-kampus di berbagai daerah,” Agung Sedayu, Ketua Umum Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) dalam diskusi “Mengapa Rektor Takut Cerpen?” di Hongkong Cafe, Jakarta Pusat, Minggu, 31 Maret 2019.
Oleh karena itu, Agung mewakili FAA PPMI meminta seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia untuk menghormati hak lembahaga pers mahasiswa. Ia juga meminta agar Perguruan Tinggi juga mendukung pers mahasiswa dalam mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi melalui karya jurnalistik.
Pengekangan yang masih hanat terjadi adalah kasus yang menimpa Suara USU. Kasus ini bermula dari cerita pendek (cerpen) “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” karya Yael Stefany Sinaga yang dimuat di suarausu.co pada 12 Maret lalu. Pihak rektorat mempermasalahkan cerpen itu karena dianggap mengandung unsur pornografi dan mendukung LGBTI. Pada 25 Maret, Runtung Sitepu mengeluarkan surat keputusan yang berisi mencabut status kepengurusan seluruh anggota LPM Suara USU.
Agung Sedayu menambahkan, pemecatan terhadap para awak redaksi Suara USU merupakan tindakan yang berlebihan. Persoalan cerpen yang belum jelas kesalahannya namun berujung pada pemberangusan lembaga pers mahasiswa.
“Sehingga ini bukan hanya persoalan pemberangusan kemerdekaan berekspresi namun sekaligus pelanggaran terhadap hak untuk memperoleh dan menyampaikan informasi pers mahasiswa dan masyarakat. Hak itu dijamin oleh konstitusi,” ujarnya.
Selanjutnya, Revolusi Riza, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam diskusi tersebut menjelaskan, pemecatan dan pelarangan seluruh awak redaksi Suara USU untuk melakukan aktivitas jurnalistik telah melanggar kebebasan pers serta hak publik untuk memperoleh informasi. Baginya, pers mahasiswa adalah bagian dari pers karena pers mahasiswa melakukan kerja-kerja jurnalistik.
“AJI mengakui pers mahasiswa sebagai bagian dari Pers Indonesia. Pers mahasiswa melakukan kerja-kerja jurnalistik, produk mereka juga memenuhi kaidah jurnalistik,” ungkapnya.[]