More

    Kekerasan Terhadap Jurnalis Banyak Dilakukan Oleh Polisi

    JAKARTA, KabarKampus – Kekerasan terhadap jurnalis masih menjadi ancaman kebebasan pers di Indonesia pada tahun 2019. Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia setidaknya sampai 23 Desember 2019 terdapat 53 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.

    Dari 53 kasus kekerasan ini, pelaku kekerasan terbanyak adalah polisi, dengan 30 kasus. Pelaku kekerasan terbanyak kedua adalah warga (7 kasus), organisasi massa atau organisasi kemasyarakatan (6 kasus), orang tak dikenal (5 kasus).

    Dari total jumlah kasus itu, penyumbang terbanyak adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi dalam dua peristiwa, yaitu demonstrasi di depan kantor Badan Pengawas Pemilu 20-21 Mei 2019 dan demonstrasi mahasiswa 23-30 September 2019 lalu. Menurut identifikasi yang dilakukan AJI, serta verifikasi yang dilakukan oleh Komite Keselamatan Jurnalis, pola dari kasus kekerasan itu sama: pelakunya polisi, penyebabnya adalah karena jurnalis mendokumentasikan kekerasan yang dilakukan mereka.

    - Advertisement -

    Abdul Manan, Ketua Umum AJI menilai, berulangnya kasus kekerasan ini, termasuk kekerasan jenis fisik, karena minimnya penegakan hukum dalam penyelesaiannya. Berdasarkan monitoring AJI, sebagian besar kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis sangat jarang berakhir di pengadilan dan pelakunya dihukum secara layak. “Meski ada faktor keengganan dari jurnalis (karena kurangnya dukungan perusahaan), faktor terbesar adalah praktik impunitas yang terus berlangsung bagi pelakunya,” terang Manan dalam siaran persnya, Selasa, (24/12/2019).

    “Meski ada faktor keengganan dari jurnalis (karena kurangnya dukungan perusahaan), faktor terbesar adalah praktik impunitas yang terus berlangsung bagi pelakunya,” terang Manan dalam siaran persnya, Selasa, (24/12/2019).

    Berikut kasus kekerasan tersebut :

    Budi Hariyanto Tanjung, CNN Indonesia. Budi sedang meliput aksi 22 Mei 2019 di sekitar kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pada pukul 02.00 WIB, 21 Mei 2019, ia merekam massa yang digiring secara paksa oleh aparat brimob ke mobil polisi. Lima menit kemudian dia merekam massa yang digiring secara paksa Brimob. Saat perekaman berlangsung, 5 hingga 6 anggota Brimob melakukan kekerasan terhadap massa meski sudah tidak berdaya. Ia pun merekam peristiwa itu.

    Tak lama berselang lama, sekitar 5 – 6 anggota Brimob langsung menghampiri Budi dan meminta secara paksa dengan cara intimidatif agar rekaman-rekaman itu dihapus. Meski sudah memberitahu bahwa dia jurnalis dan menunjukkan kartu pers, mereka tidak peduli dan malah mengambil paksa smartphonenya disertai kalimat yang intimidatif. Anggota brimob juga memukulinya di kepala bagian belakang dan bagian telinga. Salah satu anggota brimob langsung menghapus seluruh data rekaman, termasuk yang tidak berkaitan dengan peristiwa kekerasan itu.

    Fatahillah Sinuraya,  Inews Tv. Field Producer di Inews Tv itu berada di lapangan saat terjadi demonstrasi di depan Bawaslu 22 Mei 2019. Pada pukul 00.30 WIB saat sudah memasuki pergantian hari, ia hendak berkemas. Pada saat membereskan alat-alat liputan dan memasukkan alat tersbeut ke dalam mobil, tiba-tiba segerombolan pasukan brimob menghampiri tim liputan Inews Tv yang kemudian mengusir secara paksa kru inews.

    Pengusiran dilakukan dengan cara yang sangat intimidatif. Pengusiran paksa secara khusus juga ditujukan kepada Fatahillah. Saat itu ia dan timnya sudah menyampaikan bahwa mereka memang akan pergi dari lokasi. Namun secara tiba-tiba sekelompok anggota Brimob langsung menghampiri Fatahillah dan langsung memukul di bagian tubuh dan kepalanya.

    Vany Fitria, Jurnalis Narasi Tv. Pada 25 September 2019 ia meliput demonstrasi di sekitar gedung DPR/MPR. Saat malam hari selepas maghrib, ia meliput di sekitaran restran Pulau Dua. Di sekitar restoran banyak aparat kepolisian berjaga-jaga dan mengamankan lokasi. Ia merekam situasi sekitar. Saat merekam gambar itulah tiba-tiba ada polisi datang dan melarangnya meliput. Ia menunjukkan kartu pers, namun tetap tak digubris. Bahkan polisi itu merampas HP-nya  dan merusak HP tersebut dengan cara membanting dan menginjaknya.

    Fiqie Haris Prabowo, jurnalis tirto.id. Pada 30 September 2019, ia meliput aksi demonstrasi di sekitaran gedung DPR/MPR. Pada malam harinya, ia meliput di sekitaran fly over sebrang JCC. Pada saat itu terjadi kericuhan kericuhan antara petugas kepolisian dengan TNI yang sedang berjaga di depan RSAL Ladokgi. Ia pun bergegas melakukan peliputan. Namun ada beberapa petugas melarangnya meliput sambil memeriksa isi tasnya.

    Saat memeriksa tas, petugas menemukan tabung bekas gas air mata yang sudah tidak terpakai. Ia menyimpan tabung tersebut untuk dijadikan bahan peliputan dan laporan ke redaksi. Saat itu juga polisi langsung merangkul leher korban dan menggiringnya ke arah depan DPR. Ia dipaksa masuk mobil tahanan tetapi berhasil melepaskan diri –selain kaena ada bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya.

    Tri Kurnia Yunianto, jurnalis Katadata. Tri dikeroyok, dipukul dan ditendang oleh aparat dari kesatuan Brimob Polri saat meliput peristiwa demonstrasi di depan DPR. Meski Kurnia telah menunjukkan ID Pers yang menggantung di leher dan menjelaskan sedang melakukan liputan, pelaku kekerasan tidak menghiraukan dan tetap melakukan penganiayaan. Polisi juga merampas HP Kurnia dan menghapus video yang terakhir kali direkamnya. Video itu berisi rekaman polisi membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata.

    Selain di Jakarta, kasus kekerasan juga terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan. Berdasarkan data AJI Makassar, 3 jurnalis menjadi korban kekerasan oleh polisi saat meliput aksi penolakan terhadap revisi UU KPK dan RKUHP di depan Gedung DPRD Sulsel, 24 September 2019 petang. Ketiga jurnalis yang menjadi korban masing-masing Muhammad Darwi Fathir jurnalis (ANTARA), Saiful (inikata.com) dan Ishak Pasabuan (Makassar Today).

    Darwin mengalami kekerasan fisik berupa pengeroyokan, ditarik, ditendang dan dipukul menggunakan pentungan. Perlakuan yang sama juga dialami Saiful. Ia dipukul dan dipentung di bagian wajah oleh polisi. Kekerasan ini dipicu oleh kemarahan polisi saat melihat Saiful mengambil gambar aparat memukul mundur para demonstran dengan gas air mata dan meriam air. Ishak juga mengalami kekerasan fisik berupa hantaman benda tumpul oleh polisi di bagian kepala dan dilarang mengambil gambar saat polisi bentrok dengan demonstran.

    Selain kasus kekerasan dalam peristiwa Mei dan September, AJI juga mencatat adanya intimidasi secara online terhadap jurnalis yang menjalankan profesinya. Dua korbannya adalah jurnalis Koran Jubi dan jubi.co.id, Victor Mambor dan jurnalis Aljazeera Febriana Firdaus. Victor menjadi korban kekerasan dalam bentuk doxing di media sosial twitter oleh akun bernama Dapur (@antilalat), Kamis (22/8/2019).  Pemilik akun @Dapur menuding Victor sebagai penghubung Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan pemasok informasi bagi pengacara hak asasi manusia Veronica Koman. Setidaknya ada 3 kali tudingan yang dilontarkan @Dapur terhadap Victor dalam rentang Juli-Agustus 2019 ini.

    Febriana Firdaus menjadi korban perundungan di media sosial dan ancaman melalui pesan singkat. Selain dirundung (bully), Febriana juga didoxing. Akun Facebook, Twitter dan Instagram @maklambeturah menyebarkan akun pribadi Febriana terkait pemberitaan korban kerusuhan di Papua. Pemilik akun tersebut menyangsikan jumlah korban yang ditulis Febriana karena berbeda dengan versi pemerintah. Setelah akunnya disebar, Febriana banyak menerima pesan bernada ancaman di media sosial. Salah satunya dari pemilik akun Twitter @ilhamAziz31. Pesan itu memperingatkan bahwa intelijen telah mengawasi aktivitas Febriana dan meminta bangun narasi konstruktif.

    Selain di Indonesia, AJI juga mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis Indonesia yang berada di Hongkong. Veby Mega Indah, yang bekerja untuk Suara, sebuah surat kabar berbahasa Indonesia di Hong Kong, terkena peluru karet di bagian mata saat meliput demonstrasi di daerah Wan Chai di Hong Kong, Cina, 29 September 2019. Demonstrasi yang sudah berlangsung berbulan-bulan itu sebagai protes warga Hongkong terhadap regulasi yang memungkinkan adanya deportasi warga Hongkong ke Cina daratan. Tembakan itu membuat mata Veby buta.

    Jumlahnya masih di Atas Rata-rata

    Di bandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah tahun ini mengalami penurunan. Tahun 2018 setidaknya ada 64 kasus kekerasan. Namun jika merujuk pada rata-rata kasus kekerasan dalam 10 tahun ini, jumlah ini masih di atas rata-rata. Meski lebih rendah dibandingkan dengan jumlah kasus pada 3 tahun belakangan ini, namun itu masih di atas jumlah kasus pada tahun 2013, 2014, dan 2015.

    Kasus kekerasan masih didominasi oleh kekerasan fisik sebanyak 20 kasus. Setelah itu diikuti oleh perusakan alat atau data hasil liputan (14 kasus), ancaman kekerasan atau teror (6 kasus), pemidanaan atau kriminalisasi (5 kasus), pelarangan liputan (4 kasus). Masih dominannya kasus dengan jenis kekerasan fisik ini sama dengan tahun sebelumnya. Tahun lalu jenis kekerasan fisik tercatat ada 12 kasus, tahun 2017 sebanyak 30 kasus.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here