More

    Virus Saimun

    Oleh: Rinto Andriono*)


    Gubuk-gubuk itu berderet di sepanjang tepian sungai. Setiap malam menjelang, gubuk-gubuk itu makin sibuk meremang. Kesibukannya sangat berlawanan dengan dinginnya malam pegunungan. Gubuk-gubuk itu sempit saja, sesempit jangkauan cahaya lampu minyak, namun tempat parkirnya sangat luas, bisa memuat puluhan truk yang mengantri pemuatan pasir dari dasar sungai. Mesin-mesin penggali dan penyaring pasir bekerja tanpa berhenti selama 24 jam, mesin-mesin besar dan boros bahan bakar ini harus diberi makan dari penjualan bertruk-truk pasir. Selain memberi makan perut pemiliknya yang seperti jurang tanpa dasar.


    “Kene, pangku kene!” kata Pardi sopir yang membawa truk besar.

    - Advertisement -


    “Bagaimana kabarmu, Mas Bos?” tanya Rita dengan kemanjaan level pabrik yang sedang kepayahan.


    “Kopi Cah Ayu!” perintah Pardi.


    “Kopi sama pangku?” tanya Rita.


    “Kaya biasane,” jawab Pardi pendek.


    “Seket ewu,” Rita mencoba menawar.


    “Kalau cuma pangku ya dua puluh…” kata Pardi jual mahal.


    “Nanti tak bonusin,” kerling Rita.


    Pardi pun mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Dia tahu antrian pemuatannya masih panjang. Lima puluh ribu impaslah untuk dua jam menunggu daripada sepi kedinginan di truk.


    “Suamimu masih belum mau menjual pekarangannya?” tanya Pardi, “kalau dijual pasirnya bisa beratus-ratus truk, kamu akan kaya.”


    Rita menggeleng, dia ingat bahwa sudah tiga tahun ini Saimun, suaminya, enggan melepas tanah warisan orang tuanya. Tanah di sepanjang tepian sungai itu menarik perhatian para cukong tambang karena kandungan pasirnya yang banyak. Sebagian lerengnya yang berbatasan dengan sungai telah dicuri pasirnya oleh mesin-mesin pengeruk. Dalihnya tidak sengaja, sambil membersihkan pasir yang hanyut di sungai. Tetapi erosi yang disebabkan oleh alat buatan manusia itu telah meruntuhkan dapurnya hingga hanyut ke sungai.


    Mesin-mesin yang tak kenal lelah itu memang telah menghanyutkan dapurnya. Bersama dapurnya yang hanyut, telah hanyut pula harga dirinya. Tanah mereka memang hanya tegalan yang ditanami kayu dan rumput, dari kayu mereka membangun rumah dan dari rumput itu mereka bisa beternak seadanya. Tanah keluarga Saimun sekarang menjadi yang paling menjorok ke sungai, karena posisinya lama kelamaan tanah itu akan hanyut oleh erosi. Tanah lain di kanan dan kiri Saimun telah diambil pasirnya sehingga rata dengan sungai. Bagi Saimun, erosi ini berakibat pada matinya sumur mereka, karena air tidak bisa lagi naik secara alamiah ke sumurnya yang sekarang menjadi lebih tinggi dari yang lain.


    Saimun hanya bisa menjadi penggali pasir di hulu. Dia tidak punya sawah. Sawah kakeknya telah dikuasai kakak-kakak ibunya yang laki-laki. Begitulah cara membagi warisan di kampung, anak laki-laki mendapat lebih banyak. Ibu Saimun bercerai sehingga dia tidak bisa mewarisi apapun dari suaminya. Guna hidup, Saimun menambang secara manual menggunakan enggrong. Dia sengaja menambang jauh hingga ke hulu, yang sulit dijangkau, karena ia berusaha menutup mata atas keributan penambangan bermesin ini. Ia enggan pula bertemu orang-orang, yang bila bertemu dengannya, serta-merta mereka tergoda untuk menjadi makelar penjualan tanahnya yang penuh kandungan pasir itu. Mereka akan merayu Saimun untuk menjual tanahnya karena mereka mengharapkan sedikit komisi dari cukong pasir.


    “Semua orang menjadi semakin lapar setelah tahu kalau pasir sekarang ada harganya,” ujar Saimun keras kepala.
    Keluarga Saimun yang sudah susah sekarang menjadi semakin sengsara. Penjualan pasir Saimun semakin sepi karena tambang bermesin. Lima hari dia mengeruk pasir di sungai baru bisa mengisi satu buah truk, namun jarang ada truk yang mau mengambil pasir ke hulu. Mereka sibuk menyusu dari tambang bermesin yang lebih mudah aksesnya.


    “Kita tidak bisa melawan mesin-mesin itu,” kata Mbah Paimo teman menambang Saimun, “sekali keruk dia bisa mengisi sepertiga truk.”


    “Apa gununge ora jugruk,” kata Saimun mengkhawatirkan gunungnya akan segera runtuh.


    Guna menutupi kebutuhan hidup keluarganya, Rita menjual kopi. Pada mulanya, dia hanya menjual kopi dan gorengan seadanya, tetapi sepi, karena penjaja-penjaja kopi yang lain juga menyediakan bilik dengan kasur empuk dan pramusaji yang cantik dan menggoda. Akhirnya Rukiyah istri Saimun pun mengalah, sekarang namanya di kedainya telah menjadi Rita.


    ****


    Bagi penduduk di lereng gunung, Merapi dianggap ibu. Sebagai ibu, Merapi punya badan yang harus dijaga setara dengan manusia. Kadang-kadang dia sehat, kadang pula dia sakit. Sekali tempo, dia juga punya hajat seperti manusia. Hajatan Merapi terjadi saat gunung itu erupsi, penduduk akan menyingkir sebentar, mereka membiarkan Merapi menyelesaikan hajatannya. Tidak ada yang terlalu sedih berlarut-larut, bila Merapi hajatan dan menimbulkan kerusakan hebat. Sawah-sawah akan terkubur pasir, pohon-pohon mati terkena abu, atap rumah runtuh karena terlalu berat menahan beban material letusan yang jatuh dari langit. Penduduk tidak ada yang sedih karena itu, mereka tahu bahwa setelah hajatan maka ibu akan memberi lebih banyak lagi.


    “Kita tidak sendirian,” kata warga ketika ditanya mengapa tidak begitu sedih, “kita sudah mengambil terlalu banyak dari ibu, tapi setelah ini ibu akan memberi lebih banyak lagi.”


    Setelah erupsi, warga tahu bahwa pasir akan melimpah, mereka bisa menjualnya. Mereka juga tahu, setelah melewati dua-tiga musim tanam yang buruk, sawah-sawah akan menghasilkan lebih banyak bulir padi. Seperti padi, saat erupsi, pohon salak pun akan layu namun setelah musim hujan yang menghalau segala debu, pohon-pohon akan bersemi kembali dan akan berbuah lebih manis pada musim panen berikutnya.


    “Mulai dari nol ya…” sindir para pemuda yang motor kreditannya hangus terkena awan panas Merapi.


    Beberapa penduduk akan meregang nyawa karena tidak sempat menyingkir saat ibu hajatan, namun itulah harga yang harus dibayar kepada ibu. Sedih itu pasti karena kematiannya nampak sangat tragis, namun hidup harus terus berlangsung.
    Dapur magma Merapi, sumber semua pasir yang membuat makmur itu, ada jauh di sebelah selatan pesisir pulau Jawa. Gempa-gempa dari kecil hingga besar sering terekam seismograf dari daerah ini. Biasanya, berdasarkan ngelmu titen warga, setelah ada gempa besar di pesisir ini maka lima atau enam tahun kemudian ibu Merapi akan hajatan. Hubungan aktivitas perut bumi di pesisir selatan dan di Merapi ini sudah digambarkan oleh para leluhur orang Yogyakarta dengan garis imajiner yang membentang dari selatan ke utara. Mereka membuat larangan bangunan-bangunan masif di sepanjang garis imajiner ini. Penjelasan logisnya karena banyak patahan dan pergerakan magma.


    Selain harus menghadapi konspirasi alamiah perut bumi yang sudah bisa terbaca polanya oleh para orang tua, Saimun dan kawan-kawannya harus menghadapi lakon baru, dimana dia menjadi wayang dan harus jumpalitan tidak karuan. Lakon itu terkait rencana pembangunan jalan tol di pulau Jawa. Pasir menjadi komoditas yang semakin menarik para raksasa perekonomian, karena rencana pembangunan ini membutuhkan jutaan kubik pasir.


    “Mana pernah pasir bisa laku sejuta seperempat per truknya,” kata Pardi sambil mengelus Rita.


    “Jadi kau sekarang kaya?” tanya Rita tanpa ingin tahu.


    “Kaya apanya, yang kaya juragannya,” kata Pardi sengak, “dia yang makan setoran paling banyak.”


    Di antara orang-orang yang hidup dari pasir memang ada kasta-kasta. Kasta tertinggi adalah para juragan pemilik mesin-mesin tambang, lalu juragan pemilik truk angkutan dan pemilik depo pasir. Sisanya adalah kelas buruh yang juga menganut kasta-kasta seperti bangunan di atasnya. Pardi dan kawan-kawannya sesama sopir adalah kasta tertinggi di bawah mandor mesin tambang. Kasta berikutnya adalah para buruh yang melayani mesin tambang. Rita dan para gula-gula warung kopi adalah kasta terendah setelah pemilik warung.
    Bagaimana dengan Saimun? Ada di manakah kastanya?


    “Kamu sebenarnya tidak sengsara-sengsara amat,” kata Pardi pada Rita, “hanya suamimu yang keras kepala, kalau dia mau menjual tanahnya maka kalian bisa beli motor.”


    Rita diam saja.


    “Berleha-leha sedikitlah, seperti yang lain,” ejek Pardi.


    Hati Rita pilu, dia tahu betul keyakinan suaminya. Dia pun tahu, dia sengsara dan harus ikut puasa karena keengganan Saimun untuk menjual tanahnya. Dahulu, ketika Rukiyah masih kecil, manusia belum bisa menguraikan kebutuhan-kebutuhannya sebanyak sekarang. Sekarang ini, manusia telah merinci kebutuhan hidupnya begitu detail. Manusia-manusia baru ini bahkan telah mengukuhkan kedudukannya dari seberapa banyak dia mampu memenuhi kebutuhannya. Seseorang menjadi terhormat bila dia mampu mencukupi kebutuhannya lebih banyak dari orang lain, bahkan guna menjaga kehormatannya, dia menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang tidak begitu hakiki namun tidak mampu dijangkau oleh orang lain.


    Rincian kebutuhan sebanyak yang lain itulah yang tidak dimiliki oleh Saimun. Saimun sudah merasa cukup bila tidak bermotor, Saimun sudah merasa eksis meskipun tidak punya ponsel, Saimun sudah cukup tanpa itu-itu semua. Di satu sisi dia bersyukur dengan Saimun, hidupnya yang bersahaja akan menjamin warisan bagi anak-anaknya kelak. Saimun tidak tergoda untuk menjual tanah mereka sekarang sekedar untuk memenuhi kebutuhan perut.


    “Kau tidak ingin beli motor?” tanya Rita pada Saimun.


    “Tidak, pekerjaanku cuma mencari pasir, aku bisa jalan kaki ke hulu.”


    “Tapi anak-anakmu makin besar, sekolahnya semakin jauh, mereka akan butuh motor.”

    “Tapi itu bukan sekarang ‘kan?” tukas Saimun, “sekarang mereka masih bisa sekolah jalan kaki.”


    “Pikirkanlah, sekarang jalan pun semakin ramai dan rusak oleh truk-truk pasir itu,” lanjut Rita, “banyak kubangan di mana-mana.”


    Belakangan ini, kecelakaan yang mengorbankan anak-anak memang semakin banyak, jalanan menjadi berdebu dan berlubang karena jejak truk-truk penambang.


    “Asu!” Saimun hanya bisa memaki sambil merasa ngeri bila sesuatu terjadi pada anak-anaknya.


    Yang menjadi persoalan bagi Rita adalah hidupnya yang bersahaja pun sekarang tambah susah, Rita semakin tua, hanya Pardi makhluk langka yang masih mau memberinya tips. Kadang ada juga sih, yang mau bercinta dengannya, bila antrian pemuatan pasir sedang panjang dan pria-pria jantan iseng itu kekurangan perempuan untuk mengusir dingin. Kalau hanya mengandalkan jualan kopi seribu lima ratus segelas, bagaimana dia bisa hidup? Sekecil apapun itu, kebutuhan bermotor dan berponsel akan segera muncul dari anak-anaknya yang mulai besar.


    ****


    Saimun bukannya tidak tahu sepak terjang yang dilakukan Rukiyah guna mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun Saimun terlalu kecut untuk marah, ia menyadari hasilnya menggali pasir memang tidak akan pernah cukup berpacu dengan kebutuhan hidup mereka. Kadang-kadang, meski pasir sudah terkumpul tapi tidak ada truk yang mau mengangkut. Mereka sibuk di tetek tambang bermesin itu.


    “Kowe ora duwe butuh po?” tanya Mbah Paimo.


    “Ya, ada,” jawab Saimun.


    “Ha geneyo? Kenopo pekaranganmu ora mbok dol?” gugat Mbah Paimo menyayangkan sikap Saimun.


    “Itu bukan milikku, itu warisan simbok,” jawab Saimun.


    “Mbangane kintir, Mun.”


    Mbah Paimo mengkhawatirkan tanah Saimun yang perlahan-lahan akan hanyut karena erosi yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan itu.


    “Pancen asu.”


    Keakuan Saimun sudah lama tipis bersamaan dengan semakin terkikisnya tanah warisan ibunya. Dia hanya bisa membiarkan Rukiyah beralih ke pelukan Pardi. Dia pura-pura tidak tahu saja. Dia tahu tidak ada niatan Rukiyah untuk menghianatinya, semua hanya karena kebutuhan yang terlalu merongrong mereka. Saimun pun tidak berani menggugat tindakan Rukiyah karena dia pasti akan mengganggu pendirian Saimun soal tanah keluarganya itu.


    Hidup keluarga Saimun seperti terendam air setinggi mulut. Mereka nyaris tidak bisa bernafas, sedikit saja riak gelombang kehidupan akan membuat mereka susah bernafas.


    “Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”


    “Sekarang adik sudah stabil, Bu,” kata dokter rumah sakit, “hanya dia mungkin perlu perawatan panjang untuk cedera kepalanya.”


    Saimun terpaku di samping ranjang anaknya. Anaknya mengerang kesakitan. Dia jatuh terserempet truk saat berangkat sekolah. Setelah ada tambang, truk memang menjadi pembunuh nomor satu di kecamatan Saimun.


    Saimun dan istrinya harus bolak-balik ke rumah sakit setiap hari. Anaknya memang dirawat menggunakan jaminan BPJS, namun ongkos mondar-mandir tidak ditanggung BPJS. Belum lagi biaya kesempatan yang hilang karena Saimun dan istrinya tidak dapat bekerja. Pihak pemilik truk pun enggan bertanggung jawab, ia menyalahkan sopir yang tidak hati-hati, dan sopir yang terpojok hanya bisa mengiba perdamaian.


    Pemenuhan biaya hidup keluarga Saimun jelas menjadi semakin megap-megap sekarang. Hutangnya semakin banyak.


    “Sudahlah, mungkin memang suratan nasib kita harus begitu,” kata Rukiyah, “kita tidak bisa menjaga warisan orang tua.”


    Saimun diam. Ia teringat kata-kata Mbah Paimo temannya, daripada tanahnya hanyut sia-sia karena aktivitas tambang, lebih baik dijual.


    “Kita sudah baik berusaha tidak menjual tanah itu, tapi apakah kita punya pilihan?” tanya Rukiyah.


    “Aku mung kepengin iso marisi bocah-bocah, Bu, yo sak duwe-duweku tinggalan, aku juga cuma dapat warisannya simbok.” kata Saimun.


    “Itu Bosnya Pardi sudah berani menawar tanahmu.”


    “Ya silahkan kalau mau menjual warisan, itu sebaiknya ahli warisnya yang mengambil keputusan.”


    “Kamu kan ahli waris satu-satunya dari almarhum simbok sekarang?”


    Saimun lagi-lagi diam. Ia merasa seperti anak wayang yang sedang dipermainkan oleh dalang kehidupan. Apa yang salah dari hidupnya sehingga kekuatan-kekuatan besar menyempatkan diri untuk mempermainkan nasibnya.


    ****


    Rupanya permainan nasib Saimun belum selesai. Tersudut di sana-sini masih belum dianggap cukup untuk menandingi Samun yang keras kepala. Pagi ini sebuah pukulan dahsyat kembali menghantam Saimun dan keluarganya.


    “Selamat pagi, Pak,” sapa dokter yang merawat anak Saimun.
    “Pagi, Bu,” balas Saimun.


    “Ini hasil periksa darah putrinya sudah selesai, Pak.”


    Putri Saimun baru kelas satu SD, dia lahir dua tahun setelah Merapi erupsi. Kata Saimun, dia adalah rezeki yang dijanjikan oleh ibu gunung. Dia lahir tepat setahun setelah bonanza pasir dimulai di lereng Merapi.


    “Selain cedera kepala kemarin, putri Bapak juga mengalami infeksi virus,” kata dokter, “untuk itu karena putri Bapak masih kecil maka ibunya juga perlu diperiksa darahnya karena penularan dari ibu adalah salah satu peluang masuknya virus itu pada anak kecil.”


    Kepala Saimun sekarang melayang-layang seolah tidak ada lagi pikiran sehat yang bisa memberatinya agar tetap stabil.


    Virus yang meenyerang anak Saimun bukanlah virus main-main, tanpa penanganan yang benar, virus itu bisa berujung pada kematian. Penularan virus ini biasanya disebarkan oleh pria jantan, beruang dengan mobilitas yang tinggi dan moralitas yang rendah. Virus ini seolah mewakili semua kekalahan Saimun dalam hidupnya. Virus ini melambangkan semua kekuatan besar yang mengerjai nasib Saimun.


    “Bagaimana hasilmu?” tanya Saimun.


    “Aku juga positif,” kata Rukiyah, ”kamu juga harus periksa kalau begitu.”


    “Kita semua mungkin sudah terkena virus.”


    Virus Saimun adalah playmaker yang baik. Dia berhasil mengubah permainan di hati Saimun. Saimun yang tadinya keras kepala sekarang menjadi layu, bukan karena hantaman dari luar yang selama ini berhasil dia abaikan, namun karena infeksi dari dalam yang menggerogoti hatinya sehingga musnah semua harapan yang digadangkannya.


    Malam ini Saimun tidak menginap di rumah sakit. Dia pamit kepada Rukiyah untuk menemui Bosnya Pardi. Rukiyah senang.


    “Iya, betul begitu, semoga kita bisa mendapat harga yang baik, kita bisa memulai yang baru,” kata Rukiyah penuh pengharapan.


    “Titip…,” kata Saimun tidak meneruskan kata-katanya.


    Saimun keluar dari rumah sakit, namun dia tidak menuju ke rumah Bosnya Pardi. Dia langsung menuju ke rumahnya.


    Sore ini terasa begitu sepi bagi Saimun. Rumahnya masih gelap, semua di rumah sakit, tidak ada yang menyalakan lampu. Rumpun bambu yang rimbun pun tidak mampu meramaikan hati Saimun, pun dengan suara jangkrik yang riuh. Hati Saimun sepi seperti bisu. Saimun menatap peralatan menambang pasirnya, tangannya meraba ujung enggrong-nya yang mengkilat. Hari sudah mulai gelap, mesin-mesin penambang pasir di sungai masih bekerja. Sungguh mesin yang tidak mengenal lelah dan tanpa perasaan.


    Saimun berkata-katanya sendiri, “Biarlah ahli warisnya yang mengambil keputusan untuk menjual atau tidak menjual tanah itu.”


    “Aku sekarang bukan ahli warisnya lagi,” lanjut Saimun sebelum ajal menjemput atas kemauannya sendiri.


    Seolah mesin penambang berhenti berderak, malam sangat hening hingga fajar tiba, saat Rukiyah menjerit histeris di rumahnya.


    ****


    Glosarium:


    – “Kene, pangku kene!”: “Sini, dipangku sini!”


    – “Kopi Cah Ayu,”: “Kopi anak cantik,”


    – “Kaya biasane,”: “Seperti biasanya,”


    – “Seket ewu,”: “Lima puluh ribu,”


    – Enggrong: sekop bertangkai pendek untuk menggali pasir.


    – “Apa gununge ora jugruk,”: “Apa gunungnya tidak runtuh?”


    – Ngelmu titen: pengetahuan berdasarkan pengamatan yang lama.


    – “Asu!” : “Anjing!”


    – “Kowe ora duwe butuh po?”: “Kamu tidak punya kebutuhan apa?”


    – “Ha geneyo? Kenopo pekaranganmu ora mbok dol?”: “Ha, mengapa? Kenapa pekaranganmu tidak kamu jual saja?”


    – Simbok: ibu.


    – “Pancen asu.”: “Memang anjing.”


    – “Aku mung kepengin iso marisi bocah-bocah, Bu, yo sak duwe-duweku tinggalan, aku juga cuma dapat warisannya simbok.”: “Aku hanya ingin bisa mewarisi anak-anak, Bu, ya seadanya warisan, aku juga cuma dapat warisannya ibu.”


    – Playmaker: pemain yang mengendalikan permainan.


    —————————————


    *) Rinto Andriono adalah seorang konsultan UNDP untuk Indonesia, dulu ia adalah seorang aktivis anti korupsi yang militan di GeRAK Indonesia. Pasca terserang stroke, ia kemudian mengambil keputusan untuk belajar menulis sastra di Akademi Menulis-Dunia Sastra Kita.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here