More

    Ada Motif Persaingan Usaha, Dosen Stikom Minta MK Tolak Permohonan RCTI dan iNews

    Ilustrasi MK.

    BANDUNG, KabarKampus – Dosen Ilmu Komunikasi Stikom Bandung meminta Mahkamah Konstitusi (MK) agar menolak permohonan gugatan RCTI dan iNews TV terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Ia menilai gugatan tersebut didasari persaingan usaha, sementara UU Penyiaran secara prinsip tidak mengatur soal persaingan usaha.

    Nursyawal, Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Stikom Bandung mengatakan, selama dua dekade ke belakang, grup media yang menjadi afiliasi kedua lembaga penyiaran itu, menguasai pangsa pasar iklan bernilai puluhan triliun Rupiah pertahun. Kemudian, dengan adanya raksasa bisnis over the top seperti Google, pangsa pasar iklan itu mulai tergerus.

    Lembaga penyiaran konvensional, lanjutnya, kemudian mulai kekurangan laba. Akibatnya mulai mengurangi pembiayaan, misalnya dengan mengurangi produksi, atau juga PHK.

    - Advertisement -

    “Meski lapangan kerja Indonesia musti dilindungi, apalagi saat pandemi ini. Mahkamah Konstitusi sebaiknya menolak pengujian hukum tersebut, karena secara prinsip, Undang-undang Penyiaran tidak mengatur soal persaingan usaha, melainkan mengatur para pihak yang mendapat hak istimewa dalam memakai spektrum frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam tidak tak terbatas,” terang Nursyawal, yang pernah menjadi komisoner Komisi Penyiaran Daerah Jawa Barat itu dalam siaran tertulisnya, Jumat, (28/08/2020).

    Sehingga menurut, Nursyawal, permohonan pengujian hukum dari dua lembaga penyiaran swasta Jakarta tersebut, didasari persaingan usaha yang makin ketat saat ini. Karena, alasan-alasan yang dikemukakan dalam permohonan pengujian itu jelas memperlihatkan motif tindakan dua lembaga penyiaran itu adalah motif ekonomi yang disebut “perlakuan yang tidak sama” yang menyebabkan kerugian finansial.

    Saat ini, ungkap Nursyawal, internet belum diidentifikasi sebagai sumber daya alam yang tidak tak terbatas, sehingga tidak diatur pemanfaatannya oleh negara. Jika ingin melindungi industri dalam negeri sebaiknya diatur melalui Undang-undang lain, seperti perpajakan, telekomunikasi, atau persaingan usaha.

    Di sisi lain, ia mengatakan, sudah saatnya lembaga penyiaran mengevaluasi diri untuk sanggup bersaing dengan isi media digital (over the top). Misalnya dengan mempertanyakan, mengapa saat ini makin banyak yang menonton ragam tayangan video melalui aplikasi di smartphone atau aplikasi menonton video lain yang bahkan berbayar.

    Sementara lembaga penyiaran konvensional itu bisa ditonton dengan gratis. Dengan mengidentifikasi kualitas yang dimiliki media digital, lembaga penyiaran dapat bersaing.

    Gugatan RCTI dan iNews atas UU Penyiaran kepada MK disampaikan pada 6 Juli 2020 lalu. Dalam gugatan itu, mereka menilai Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran menyebabkan perlakuan berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran over the top ( OTT) yang menggunakan internet, seperti YouTube dan Netflix. 

    Apabila gugatan itu dikabulkan, masyarakat baik perorangan maupun badan usaha, terancam tidak leluasa menggunakan media sosial. Penggunaan media sosial seperti YouTube , Instagram, Facebook untuk melakukan siaran langsung (live) akan dibatasi.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here