JAKARTA, KabarKampus – Veronica Koman, seorang advokat Hak Asasi manusia untuk Papua diminta untuk mengembalikan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Beasiswa tersebut sebelumnya diberikan kepada Veronica Koman saat menempuh program Master of Laws di Australian National University 2016 silam.
Dalam keterangan pers yang ditulis Veronica Koman, penerapan hukuman finansial yang diberikan kepadanya, sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk menekan agar dirinya berhenti melakukan advokasi HAM Papua. Sebelumnya, Pemerintah Indonesia juga telah melakukan kriminalisasi, lalu meminta Interpol untuk mengeluarkan ‘red notice’, dan mengancam untuk membatalkan paspor dirinya.
“Kini pemerintah memaksa saya untuk mengembalikan beasiswa yang pernah diberikan kepada saya pada September 2016. Adapun jumlah dana yang diminta adalah sebesar IDR 773,876,918,” terang Veronica, Selasa, (11/08/2020)
Permintaan LPDP tersebut, lanjut Veronica, dibuat berdasarkan klaim bahwa ia tidak mematuhi ketentuan harus kembali ke Indonesia setelah usai masa studi. Padahal ia kembali ke Indonesia pada September 2018 setelah menyelesaikan program Master of Laws di Australian National University.
Veronica mengungkapkan, ia telah kembali ke Indonesia sejak Oktober 2018. Kemudian di Indonesia, ia melakukan advokasi HAM, termasuk dengan mengabdi di Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia untuk Papua (PAHAM Papua) yang berbasis di Jayapura.
Ia juga ke Swiss untuk melakukan advokasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Maret 2019 dan kembali ke Indonesia setelahnya. Selain itu juga memberikan bantuan hukum pro-bono kepada para aktivis Papua pada tiga kasus pengadilan yang berbeda di Timika sejak April hingga Mei 2019.
Selanjutnya, ia berkunjung ke Australia untuk menghadiri wisuda pada bulan Juli 2019 dengan visa tiga ulan. Namun saat berada di Australia, pada Agustus 2019, saya dipanggil oleh kepolisian Indonesia dan ditempatkan dalam daftar pencarian orang (DPO) pada September 2019.
Selama itu juga, Veronica mengaku, ia masih bersuara ketika internet dimatikan di Papua. Ia tetap memposting foto dan video ribuan orang Papua yang masih turun ke jalan mengecam rasisme dan meminta referendum penentuan nasib sendiri.
“Bukan hanya ancaman mati dan diperkosa kerap saya terima, namun juga menjadi sasaran misinformasi online yang belakangan ditemukan oleh investigasi Reuters sebagai dibekingi dan dibiayai oleh TNI,” ungkap lulusan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Jakarta tersebut.
Adanya Veronica, adanya hukuman financial kepada dirinya, menunjukkan bahwa Kemenkeu telah mengabaikan fakta ia langsung kembali ke Indonesia usai masa studi. Selain itu mengabaikan fakta pula bahwa dirinya telah menunjukkan keinginan kembali ke Indonesia apabila tidak sedang mengalami ancaman yang membahayakan keselamatan saya.
“Melalui surat ini, saya meminta kepada Kemenkeu terutama Menteri Sri Mulyani untuk bersikap adil dan berdiri netral dalam melihat persoalan ini sehingga tidak menjadi bagian dari lembaga negara yang hendak menghukum saya karena kapasitas saya sebagai pengacara publik yang memberikan pembelaan HAM Papua,” tutup Veronica.[]