More

    Rencah Istri Sang Pangeran Diponegoro

    Oleh : Rinto Andriono*

    Lukisan: Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857) karya Raden Saleh, Indonesia

    Akhir penghujan 1901, kapal yang aku tumpangi dari Kuta Raja mendarat di Batavia. Seperti menumpangi sebuah keranda, aku tak sekemauanku sendiri berada di atasnya. Hampir sebulan aku tidak bisa melihat mentari dengan mataku yang mulai rabun ini. Waktu di hutan, hanya terang mentari yang masih bisa memberi penghiburan bagiku. Aku suka berjemur sehingga kulitku kering, sekering tubuh anak Nanggroe kelaparan. Lapar karena orang tuanya sibuk merawat kebun tanam paksa, alih-alih mengambil waktu untuk menanam makanan mereka.

    Tanpa mentari di kapal ini, hanya bayang Cut Gambang yang tertayang di mataku ini. Cut Gambang putriku. Hutan Nanggroe selimut kami. Onak yang menjauhkan jangkauan mesiu kumpeni. Ada bara di hati bila mengingat anakku yang masih berkeliaran di hutan. Dia masih menjadi kerikil di kaki kumpeni. Ibu mana yang tidak tergetar bila membayangkan anaknya mandi embun hutan, bersilih tepuk dengan nyamuk dan tidur beradu pinggang dengan bak geulumpang, pohon besar yang rindang.

    - Advertisement -

    Sekarang aku tiba di penjara Stadhuis van Batavia, lumayan aku kembali bisa memandang mentari. Tahanan boleh berkeliaran di halaman dalam. Semua tahanan adalah laki-laki. Hanya aku tahanan yang perempuan. Soal penahanan kami, aku pikir ini hanya perkara kepentingan. Kami dianggap pemberontak bagi mereka dan mereka pun kami pandang pengacau yang merebut makan anak-anak kami. Aku kira ini juga bukan perkara salah atau benar tapi hanya soal beda kepentingan saja. Yang kuat bisa mempecundangi yang lemah. Itu saja.

    “Ini semua mempecundangi aku, Cut Nyak Dien, istri Teuku Umar, pejuang Aceh. Bah!”

     Di halaman belakang Stadhuis, ada pohon perdu yang memikatku. Pohon itu serasa memuat berlaksa nelangsanya yang sangat dalam, nyaris tak berdasar. Tapi pengharapannya seluas cakrawala.

     “Itu bunga wahyu tumurun ….” kata tahanan lain saat pakansi– waktu kami diperbolehkan keluar dari sel.

    Mataku mendelik melihatnya samar. Bukan karena marah, tapi aku ingin mengenali sosoknya. Pria muda, kira-kira sepuluh tahun lebih muda dariku.

    “Hamba Ilyas,” lanjutnya singkat, merasakan ingin tahuku, “hamba di sel lantai dua.”

     “Namaku Cut Nyak Dhien dari Aceh.”

    Aku tak acuh, kembali menengok bunga itu, tiga warna. Semakin tua semakin gelap. Merah darah dengan buah kecil di tengah kelopaknya. Saat masih muda, kelopaknya kuning, ujung bunga itu ada benang sari dan putik yang kuning pula. Tanganku mencoba meraih kelopak tuanya. Bukan selembut tampaknya, kelopaknya kaku dan tajam.

    “Bunga pemberontakan!”

     “Konon, seorang putri kraton Jawa yang menanamnya.”

     “Oh, orang kraton?”

     “Dia juga tahanan, bersama suami dan para pengikutnya.”

    Aku teringat kisah putri Jawa di lantai dua. Tahanan pribumi sering membicarakannya. “Seperti apakah dia?”

     “Kondangnya lebih panjang dari lorong-lorong penjara. Namanya Retnaningsih, istri pangeran Jawa.” Ilyas menjelaskan.

     “Istri pangeran?” gumamku.

    Aku pernah mendengar kisah pangeran Jawa dari Tengku Umar, suamiku. Menurutnya, pangeran ini juga melancarkan penjegalan, yang memanfaatkan pengetahuan pribumi. Dayanya adalah kepercayaan rakyat pada keteladanannya. Dia menolak tahta raja Mataram, karena Mataram tidak bisa lepas dari kumpeni. Dia memilih hidup bertani bersama rakyatnya. Dia menghidupi rakyatnya yang kelaparan karena tanam paksa. Dia membangun laskar-laskar perlawanan meniru pasukan Kraton Turki.

    Suamiku tahu pula cerita kekalahan sang pangeran. Sang pangeran terlalu percaya pada niat baik kumpeni. Dalam sebuah pertemuan perundingan dengan kumpeni di Magelang, dia dilumpuhkan dengan muslihat oleh van den Bosch. Sebuah muslihat yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang pangeran yang beradab tinggi, tapi sangat mudah meluncur dari siasat kumpeni. Dia kalah dengan cara sangat hina.

    Suamiku tidak mau bernasib sama. Dia memutar otak. Muslihat harus lawan muslihat. Dia berhasil melarikan puluhan senjata ke hutan bersama pasukannya. Suamiku seolah berdamai dengan kumpeni. Setelah mendapatkan kepercayaan dari kumpeni, suamiku dan pasukannya lantas sengaja menghilang di hutan. Dia membelot dengan sepasukan pribumi bersenjata lengkap, yang sebetulnya bertugas menangkapi pemberontak Nanggroe di hutan. Siasat suamiku ini membuat berang kumpeni.

    Beda nasib pangeran, beda pula nasib suamiku. Takdir suamiku syahid di medan laga Perang Diponegoro dan Perang Aceh mampu merepotkan kumpeni di Nusantara. Kumpeni nyaris bangkrut untuk membiayai perang-perang ini. Nasib pangeran serupa dengan nasibku. Kami sama-sama dilumpuhkan oleh muslihat. Tapi putriku berhasil lolos dan meneruskan perjuangan kami.

    Bel berdentang dipukul upas bui⸺para sipir pribumi. Gemanya tumpah-ruah di seluruh halaman dalam Stadhuis.

     “Waktu pakansi habis!” sebuah teriakan upas buimenghentikan pembicaraan kami.

    Kami kembali beringsut ke dalam cangkang kami. Bayang Retnaningsih sekarang menemani Cut Gambang di kepalaku.

    ***

     Retnaningsih….  Aku mereka-reka bayangan sosok itu di kepalaku. Cerita tahanan Ilyas yang singkat, masih terlalu sedikit agar Retnaningsih bisa menyosok di kepalaku. Setiap kali aku mencoba menyusun gambar Retnaningsih, yang muncul adalah kembang tiga warna wahyu tumurun. Berkelopak lima. Setahuku, lima adalah angka yang dikeramatkan bagi orang Timur. Rukun Islam ada lima.

     Trang-trang trang-trang … aku pukulkan piring panci ransum kami ke dinding.  Aku memanggil Dasam dan Karpan, tetangga selku. “Dasam, mengapa kalian mengkeramatkan yang lima?”

     “Dalam setiap persalinan, kita juga dilahirkan berlima,” jawab Dasam.

    “Iya, kakak sulungnya air ketuban, ari-ari sebagai yang kedua,” papar Karpan nimbrung.

     “Dan darah sebagai saudara ketiga, lalu tali pusar juga saudara keempat yang telah mengasihi kita dengan menyalurkan makanan dari ibu,” tambah Dasam.

     “Terakhir, diri kita sendiri sebagai yang bungsu.” Karpan menjelaskan.

     “Kami harus menghormati saudara-saudara tua kami yang lima itu.” Dasam melanjutkan.

     “Mereka yang mengawal kami di dunia, agar kami kelak tidak tersesat saat wafat nanti.” Karpan menegaskan.

    “Bagaimana saudara yang lima itu menemani hidup kalian?” tanyaku.

     “Ya, mereka mewujud dalam nafsu kami, amarah kami, akal kami, nurani kami dan roh kami.” Dasam mengakhiri penjelasannya.

    Di masa kecilku di Lampadang, waktu aku masih belajar di dayah, pesantren anak-anak Nanggroe, Teungku Chik, yang mengajari ilmu-ilmu kehidupan, pun mengatakan bahwa roh kita juga digerakkan oleh empat unsur tenaga. Kalau roh kita bergabung dengan empat daya itu maka akan menjadi lima kesempurnaan yang membentuk batin manusia. Setiap manusia membutuhkan daya-daya itu pada kadar yang tepat, agar dia bisa hidup di dunia. Daya-daya itu membentuk hati kita.

     “Yang pertama, kegelapan,” kata Teungku Chik, “tenaga ini yang mendayai nafsu-hasrat binatang kita.”

     “Segelap apa Teungku Chik?” aku kecil takut gelap.

     “Segelap malam tak berbintang,” tuturnya, “itu kalau kau melupakan panggilan kemanusiaanmu.”

     “Lalu cahaya yang kuning, cahaya ini adalah daya kemalasan kita.”

     “Malas?”

     “Malas belajar, berusaha dan berjuang.”

     “Lantas yang ketiga?”

     “Itu yang merah,” ujarnya, “dia daya amarah, yang bisa membuatmu melupakan sabar, tapi pada takaran tertentu, itu dibutuhkan untuk mendayai hidup.”

     “Terakhir?”

     “Yang putih, itu hasrat pada kebaikan,” papar Teungku Chik, “semua warna cahaya kalau bercampur pada takaran yang tepat akan berwarna putih seperti mentari.”

     “Cuma empat?”

     “Menjadi lima kalau menyatu dengan roh di dalam hati, Nak.”

    Kepalaku berputar seenaknya mengganti-ganti berbagai bayangan sosok. Mulai dari bayangan Cut Gambang putriku, Retnaningsih, wahyu tumurun lima kelopak, lima kembaran kita dan lima cahaya dari Teungku Chik. Kepalaku pening oleh lima dan lima. Kehadiran yang serba lima di kepalaku itu justru memperkuat daras doaku untuk Cut Gambang. Dan, dengan tubuhku yang terdampar di Batavia tanpa ada harapan pulang, aku hanya bisa menitipkan keselamatan Cut Gambang pada yang Esa. Pemilik yang serba lima.

    ***

    Pagi yang dingin pada kemarau 1903, aku terbangun kuyu. Aku baru saja bermimpi. Dalam mimpiku, Cut Gambang menghutan bersama Retnaningsih di sebuah hutan yang membara. Udara hutan begitu panas dan pengap. Tiba-tiba saja, aku berada di dalam mimpi itu bersama mereka. Dan aku turut merasakan panas dan pengapnya udara di sekeliling kami. Kemudian, aku terbangun karena sesak nafas. Mereka lenyap dalam penggal mimpiku. Aku sedih hingga siang, terdera rasa penasaran yang mendalam.

    Angin pesisir Jayakarta pagi itu sangat dingin. Jayakarta yang dulu berjaya kini kedinginan tercabik-cabik busananya oleh Batavia. Aku turut merasakan dinginnya tiupan angin, sisa angin limbubu yang mengalun bagai angin sendalu. Aku menunggu Ilyas. Setelah beberapa kali berbincang, Ilyas memanggilku Ibu Perbu. Ibu yang menurutnya bisa dimintai nasihat. Aku sendiri tidak merasa demikian. Aku sendiri tergerak oleh rasa ingin tahuku tentang Retnaningsih. Aku tergerak ingin mengenali sosoknya secara utuh. Aku masih cemburu dengan mimpiku sendiri.

    “Kau tahu di mana mereka sekarang?” tanyaku.

     “Kata budak dapur, mereka dibuang ke Bugis,” jawab Ilyas.

    “Bugis, Kerajaan Gowa?” gumamku, “jauh sekali, ke mana nanti kumpeni akan menjauhkanku dari bumi Nanggroe?”

    “Laskar-laskar sang pangeran dipecah-pecah oleh kumpeni ke seluruh Nusantara,” lanjutnya, “Sentot Prawirodirjo, salah satu panglimanya, dibuang kumpeni ke Tanah Minang untuk memerangi pasukan Tuanku Imam Bonjol.”

    “Panglima itu mau?” tanyaku miris.

     “Setelah terjun ke medan peperangan di Lintau, Sentot akhirnya tahu bahwa yang diperanginya adalah saudara sendiri.”

    “Lalu?”

    “Dia lantas membantu orang-orang pribumi yang tadinya dia perangi atas perintah kumpeni.”

    “Sudah semestinya begitu.”

    “Sang pangeran dan Retnaningsih sendiri dibuang terpisah dengan para pengikutnya,” katanya, “Kyai Maja dibuang di Manado dan sang pangeran dibuang ke Makassar.”

    Lanjut cerita Ilyas, selama perjalanannya ke Manado, sang pangeran menggunakan Kapal Pollux. Saat itu Sang Pangeran sudah lemah, mabuk laut dan sakit malaria. Darahnya sudah sehitam dan sepahit brotowali yang tidak kunjung berhasil mengusir demam gigilnya.

    Di sela-sela penderitaannya, dia menyempatkan diri bertanya kepada Knooerle, ajudan dari Gubernur Jenderal van den Bosch, “Apakah sudah kebiasaan kalian, mengasingkan pemimpin kalah perang?”

    Kata Knooerle, “Pangeran sama dengan Napoleon[U1]  di bumi Eropa dahulu, dia mengganggu kekuasaan negara lain. Dia diasingkan pada usia empat puluh tahun setelah kalah perang di Waterloo.”

    “Itu hukuman bagi seorang taklukan?”

    “Kami tidak ingin Pangeran seperti Napoleon, setelah diasingkan di Pulau Elba yang dekat, lantas kabur memimpin perang lagi,” jelas Knooerle, “lalu setelah kalah lagi, dia diasingkan di Pulau Saint Helena yang lebih jauh.”

    “Mungkin kisahku menyedihkan, namun barangkali itu laku batin yang aku butuhkan,” sahut pangeran pendek melanjutkan menyantap roti bakar buatan Banteng Wareng.

    “Laku batin?” Knooerle bingung.

    Cerita Ilyas membungkamku. Bila sang pangeran berpindah dari Magelangke Batavia, lantas dipindahkan lagi ke Manado, Tondano hingga Makassar demi kepentingan keamanan kumpeni, aku akan ke mana setelah dari sini? Aku masih menunggu keputusan mereka mengenai pengasinganku. Intinya, baraku tidak boleh lagi hidup dalam benak kaumku. Kumpeni tidak ingin kisahku membakar semangat juang kaumku. Mereka dilemahkan semenjak dalam pikiran.

    ***

    Ilyas juga bercerita bahwa Retnaningsih kelelahan selama berlayar. Saat itu, di pertengahan bulan April 1830, angin musim kering dari selatan sedikit demi sedikit mendayai kapal Retnaningsih dan Sang Pangeran ke utara. Mata Retnaningsih sayu rayu melihat penderitaan Sang Pangeran. Retnaningsih mengompres dan menyelimuti sang pangeran, setiap demam dan gigil malaria datang silih berganti. Dia hanya ditemani Banteng Wareng, abdi cebol yang membantu mengurus semuanya. Itulah penderitaan mereka selama perjalanan mengalun gelombang laut bersama Kapal Pollux melintasi separuh Nusantara. Mereka berlayar menuju ke arah bintang biduk biasa bercengkerama.

    “Beginikah akhir dari takdir perjuangan kami?” ratap Raden Ayu Retnaningsih pada Tuhan yang diriwayatkan Ilyas.

    “Tidak, ini bukan akhir perjuangan,” sebersit keyakinan lain senantiasa hadir menandingi keluh kesahnya pada Tuhan.

    Sang pangeran sendiri, masih marah dan belum bisa menerima pengkhianatan kumpeni di Magelang. Namun bagaimanapun kejinya penghianatan van den Bosch, tapi dia masih tetap segan pada pengaruh sang pangeran. Dia tidak ingin membikin banteng ketaton itu marah lebih parah.

    Dalam perjalanan ke pengasingannya, sesuatu terjadi pada batin sang pangeran yang tubuhnya dilemahkan oleh mabuk laut dan malaria. Dalam istirahatnya yang sesaat-sesaat, dia sering mengigau tentang mati sak jroning ngaurip, sesuatu yang lama diidamkan sang pangeran yaitu keadaan di mana seseorang hendak memasuki jagat kematian secara sadar dan sengaja selagi masih hidup. Bagi Sang Pangeran, ini adalah keadaan di mana seseorang telah membelakangi dunianya, menyiapkan diri masuk ke dalam sebuah kehidupan laksana kematian.

    Retnaningsih juga merasakan pergeseran keadaan batin Sang Pangeran. Pagi itu Banteng Wareng bisa kembali merasakan pancaran bara pada sosok tubuh raden ayunya. Nada bicaranya kembali menyiratkan perempuan baja yang dulu pernah dikenal di pelosok hutan rimba Jawa. Saat itu, ketika sedang menyiapkan ramuan brotowali untuk malaria sang pangeran, Retnaningsih mengatakan, “Banteng Wareng, apakah engkau dengar semalam sang pangeran mengigau?”

    “Patik dengar Raden Ayu, saya paham.”

    Seperti halnya Raden Ayu, Banteng Wareng merasakan bahwa Tuhan telah secara samar menjawab tanya Retnaningsih. Ini bukan akhir perjuangan! Meski mereka kini terasing, tapi mereka masih punya perjuangan yang lebih hakiki. Mereka tetap punya martabat yang harus mereka bela. Mereka seperti prajurit yang baru saja dibangunkan dari tidur panjang kekalahan yang memalukan. Martabat mereka telah kembali seperti semula. Mereka merasa masih pejuang, meski tak bertanah. Tiada lagi jengkal tanah yang harus dilindungi, melainkan memperjuangkan jengkal keyakinan dalam hati seperti yang diimpikan sang pangeran.

    Hanya perjuangan bersama pangeranlah yang membuatnya merasa berarti. Bersama pangeran, dia berani bermimpi membebaskan tanah Jawa dari ketamakan kumpeni. Kumpeni hampir meyatimkan semua anak-anak di Jawa. Tanam paksa membuat petani tidak sempat menanam makanan untuk anak-anak. Mereka menjadi yatim dan piatu karena orang tuanya tidak bisa menyediakan makanan yang cukup. Orang tuanya sibuk merawat tanaman kumpeni dan tidak sempat menanam padi.

    Hanya di Tegalrejo, di tanah perdikan sang pangeran, petani bisa menanam padi dengan pelindungannya dari segala kewajiban tanam paksa. Panenan padi para petani di sana berhasil mengenyangkan perut anak-anak. Saat itu kraton yang semestinya berdaulat lebih sibuk menghitung panenan tebu yang digiling di Pabrik Gula Padokan dibawah kendali kumpeni. Rasa bangga bisa membantu saudara inilah yang telah pangeran tanamkan di hati warga. Warga tidak hanya berjuang bersama pangeran, tetapi rakyat juga memperjuangkan martabatnya sendiri.

    Sepemahaman Banteng Wareng yang jauh ratu dekat batu, menjadi pangeran yang lantas membumi adalah lebih mulia daripada menjadi rakyat biasa yang membangun nafsu berkuasa dan merebut tahta untuk dirinya sendiri. Cerita Ilyas lagi-lagi mengutip Banteng Wareng bahwa Sang Pangeran telah membunuh hasratnya untuk bermewah-mewah memerintah di Kraton. Menurut kisah, dia menjadi salah satu anggota Majelis Perwalian Kraton bagi Hamengkubuwono V yang masih kanak-kanak. Pemerintahan kraton sendiri dikelola oleh Patih Danureja IV yang tidak jujur bersama Residen Belanda [G2] untuk Yogyakarta, A.H. Smissaert.  Dia pasrah saja ketika kemudian harus menyingkir berjuang merangkak dari gua ke gua, dari Selarong hingga Menoreh demi keyakinannya.

    ***

    Dari remah-remah pengetahuan yang aku kumpulkan dari semenjak di Batavia hingga Sumedang ini, Retnaningsih adalah nyawa perjuangan pangeran. Perang gagahan di medan laga tidak akan berhasil tanpa serat kesabaran dan siasat perbekalan yang ulet dari para perempuan pribumi. Para perempuan telah berhasil mengelola sumber daya lingkungan sekitar warga. Mereka telah meramu manggar yang keras di Srandakan menjadi gudeg manggar, daya perang yang dahsyat. Mereka menyeduh serasah daun cengkih di bukit Menoreh menjadi wedang uwuh yang menyegarkan semangat. Mereka telah merendam ketela karet yang beracun menjadi growol yang mengenyangkan perut prajurit saat di Wates. Saat bulan puasa, pasukannya menyertai perundingan sang pangeran di Bukit Menoreh, dan mereka hanya punya sedikit jagung dan banyak bayam liar berduri. Jadilah tangan dingin Retnaningsih mengubahnya menjadi bubur leri, yang gurih pedas dari tepung jagung dan bayam.

    “Di kapal ini, kita hanya ada roti putih, itu catuan prajurit kumpeni” ujar Retnaningsih, “kita susah menelan bila tidak dibakar.”

    “Perut kita telah terbiasa ketela bakar, Raden Ayu.” kata Banteng Wareng.

    “Intinya bukan jenis makanannya, tapi kemandirian kita dalam menanam dan mengolah sumber-sumber pangan kita.”

    “Sekarang, dengan tanam paksa, kita dipaksa menanam tanaman yang laku di Eropa, tapi bukan yang bisa kita makan.”

    “Gula tebu, kopi, teh, pala, cengkih, tembakau dan panili memang mudah tumbuh di sini, tapi bukan pangan utama kita,” ujar Retnaningsih, “itu bahan-bahan yang laku di Eropa sana.”

    “Kita menjadi susah makan karena kita sibuk menanam tanaman yang kumpeni butuhkan, bukan yang bisa kita makan.”

    “Percuma menanam tanpa kebebasan,” lanjutnya, “para perempuan sangat paham dengan derita ini, kami menanam yang tidak bisa dimakan anak-anak kami.”

    “Sendika dhawuh Raden Ayu.”

    Panenan mengalir ke Eropa melalui, yang katanya, jalur perdagangan. Pribumi hanya menjadi bangsawan bergaji, bukan pemilik di tanah sendiri. Mereka sibuk bermewah-mewah dengan gaji pegawai kumpeni.

    Dari cerita pribumi-pribumi, perilaku para bangsawan kraton ini sungguh berbeda dengan perilaku sang pangeran. Sang pangeran berusaha melindungi rakyatnya di Tegalrejo dari kewajiban tanam paksa. Mereka ikut merasakan bangganya berbagi beras, ketela, ubi dan ganyong pada saudara-saudara pribumi yang kurang makan karena tanam paksa. Sehingga, ketika sang pangeran terusir dari Tegalrejo dan harus bergerilya dari hutan ke bukit, semua warga merasa sangat bermartabat ketika bisa menghidangkan makanan terbaik bagi rombongan pangeran. Mereka serasa memberi makan batin mereka sendiri.

    “Sayangnya kami baru saja panen tebu,” kata Marsono, Ki Lurah Dekso yang desanya dipakai sebagai peristirahatan pasukan di puncak perang 1827, “kami hanya punya sedikit beras sisa panen musim tanam kemarin.”

    “Jangan khawatir.” kata Retnaningsih tetap tenang melihat Ki Lurah gugup karena disinggahi enam ratus laskar sang pangeran, “kita akan memasak benguk.”

    Injih, Raden Ayu.”

    Ki Lurah dan warganya kemudian memotong polong tanaman benguk yang gatal. Tanaman ini banyak tumbuh di sana. Khalayak tadinya tidak terbiasa menyantap bengukpada saat itu. Tetapi Retnaningsih memulai mengolah benguk. Bahkan tanaman polong yang tadinya sapipun kegatalan saat menyantapnya, sekarang bisa diragikan menjadi tempe yang berhasil mengembalikan kebutuhan gizi harian pasukan. Siasat-siasat ini yang kemudian ditiru warga saat menghadapi kelaparan yang meluas karena tanam paksa. Siasat-siasat semacam ini yang membuat perjuangan sang pangeran mendapatkan restu yang luas dari rakyat. Retnaningsih diam-diam telah membangkitkan tenaga warganya yang lemas dan kurang makan.

    ***

    Tahun ini, penghujan 1907, aku kedinginan di Sumedang. Mungkin di sini aku akan menjemput ajalku. Di akhir hidupku ini, aku semakin termanjakan dengan mimpi-mimpiku bersama Retnaningsih. Sekarang kami seolah berkarib di dalam bunga-bunga tidurku. Kami sama-sama bertukar kisah tentang anak-anak yang selalu kami rindukan. Orang-orang di sekitarku sering menganggap aku gila karena sering mimpi berbincang dengan Retnaningsih. Persetan dengan yang mereka sangkakan. Aku menyukai perbincangan dengan Retnaningsih dalam mimpiku. Bagiku yang tua dan terasing di tanah orang ini, mimpi sama dengan harapan yang tidak bisa direbut oleh kumpeni meski mereka telah merampas kebebasanku.

    Dari cerita-cerita yang kukumpulkan, Retnaningsih adalah istri ketujuh sang pangeran. Dia putri dari Raden Tumenggung Sumaprawira, Bupati Jipang Kepadhangan. Dialah yang mendapatkan takdir untuk mengikuti sang pangeran dalam pembuangan di Batavia dan Makassar. Dialah yang menanam perdu wahyu tumurun di halaman dalam Stadhuis.

    “Mengapa Putri menanam wahyu tumurun di sana?” tanyaku dalam sepenggal mimpiku.

    “Waktu itu aku sedang memiliki pengharapan besar pada berkah dari Gusti Allah.”

    “Berarti perdu itu bermakna pengharapan pada Illahi?”

    “Iya, Cut Nyak.”[G3] 

    Setahuku orang Jawa memang menggambarkan wahyu tumurun sebagai berkah Tuhan di bumi. Aku beruntung berkesempatan menyaksikan perdunya di Stadhuis. Berani sekali Retnaningsih menanam pohon harapan di sarang macan. Di pusat sarang kerakusan yang mengkhianati bangsanya. Pusat segala muslihat, tempat pat-gulipat yang menjeratku juga.

    “Cut Nyak Dhien, yang terhormat, pernahkah sekali waktu dirimu sangat ingin bertemu putrimu?” begitu Retnaningsih menyapa dalam suatu impian.

    “Tentu saja aku sangat ingin menemuinya dalam keadaan sehat walafiat atau bahkan walau dia syahid seperti suamiku,” ratapku, “dia yang meneruskan perjuangan kami.”

    “Kalau begitu, segeralah menyusul kami,” kata Retnaningsih singkat.

    Aku buru-buru terbangun dari lelapku. Lagi-lagi aku kesal karena aku sama sekali belum memperoleh kepastian atas pengharapanku.  

    ***

    *) Rinto Andriono, lahir di Purbalingga tahun 1974. Semasa kuliah, banyak terlibat di Senat Mahasiswa, BEM UGM. Lalu, tiga puluh tahun bekerja sebagai pegiat LSM di Yogyakarta. Menggeluti isu-isu advokasi kebijakan publik, serta peningkatan kapasitas masyarakat sipil. Beberapa kali membantu lembaga swadaya masyarakat internasional, seperti Plan Indonesia, Oxfam, Care, RedR Indonesia, yang memiliki irisan antara urusan advokasi kebijakan publik dengan kemanusiaan, pengurangan risiko bencana juga hak-hak minoritas.

    Pernah berjejaring dalam Gerak Indonesia untuk advokasi anti rasuah selama sepuluh tahun. Sempat bergerak bersama masyarakat sipil dalam pengurangan risiko bencana, lantas diminta Lembaga PBB bernama UNDP, untuk menyusun metode Kajian Kebutuhan Pasca Bencana, yang selanjutnya digunakan oleh Badan Penanggulangan Bencana di Indonesia. Dan pernah menyusun panduan mengenai lapis sanding penganggaran publik di Indonesia juga beberapa negara Asia, seperti Lao PDR, Philipina, dan Asean sendiri.

    Pekerjaan terakhir sebelum mengalami stroke, menjadi konsultan di UNDP untuk pemulihan bencana NTB dan Sulawesi Tengah. Perjalanan mondar-mandir Jakarta, Palu, dan Mataram membuat tubuhnya kelelahan hingga stroke. Tapi bukan itu penyebabnya sakit akut. Namun, deraan tak henti-henti di tubuh, karena mengabaikan kimia kebahagiaan ala Al-Ghazali yang membuat bathinnya mengering. Dan, atas nasihat kawan pegiat Yoga, TRE dan vegetarian, disarankan mengambil kelas menulis cerpen di Akademi Menulis pada Ahmad Yulden Erwin (AYE).

    Menulis telah terbukti menggemukkan batiniahnya yang selama ini kelaparan hampir mati. Dahulu, sebelum stroke, dia mengalami insomnia akut, dan kegagalan fungsi pankreas dalam menghasilkan insulin. Efek samping gangguan pankreas menahun itu, kegagalan ginjalnya dalam menyaring kotoran tubuh. Kapasitas ginjalnya kini cukup menderita, dan hampir cuci darah. Tapi setelah mendekati setahun belajar menulis, pelahan fungsi pankreasnya membaik, tentu saja diimbangi olah raga serta diet. Kini tinggal berharap ginjalnya juga membaik, sebagaimana keyakinannya menulis sebagai healing.

    Di Akademi Menulis, ada penugasan rutin menulis cerpen. Rinto mengunggah karya-karyanya di facebook, dan terpublikasi di Website Sastra-Indonesia.com. Hingga kini, ia baru menghasilkan 12 buah cerpen dengan mentorship dari AYE, sahabatnya di Gerak Indonesia sekaligus gurunya. Sampai sekarang ia masih terus berusaha sembuh dengan jalan menulis.

    —————————————

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here