More

    Sebuah Refleksi Historis KAA dan Kondisi Global Kontemporer

    Penulis : Dede Ilham

    Pada tahun 2015, Indonesia menggelar ulang tahun dari KAA yang ke 50 tahun. Namun, peringatan 50 tahun KAA jauh dari semangat perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.

    Ilustrasi Buku “Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal – Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Anti-imperialisme”. Dok. Madya Books

    Maka, buku yang ditulis oleh Wildan “Konferensi Asia-Afrika 1955 : Asal – Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Anti-imperialisme” menjadi sebuah warisan ide atas kemerdekaan dan solidaritas Asia-Afrika. Buku ini juga menyajikan kompleksitas Konferensi Asia-Afrika, yaitu perang dingin saat itu.

    Wildan merangkai puzzle – puzzle sejarah atas kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika pasca perang dunia kedua, sekaligus menyajikan perdebatan selama konferensi di Bandung. Dengan kata lain, buku Konferensi Asia-Afrika 1955 adalah sebuah lanjutan dari buku “Di Bawah Tiga Bendera” karya Ben Anderson.

    - Advertisement -

    Selain itu terdapat beberapa catatan penting yang dapat digali oleh mahasiswa Studi Ilmu Hubungan Internasional, yaitu : 1) Pelajar Internasional (Asia-Afrika) menjadi aktor internasional, 2) KAA dan Masa Awal dari Perang Dingin, dan 3) Kemunduran dari Aliansi Negara Asia-Afrika.

    Individu sebagai Aktor Internasional

    Interaksi negara dan non-negara yang melewati batas-batas negara, merupakan definisi popular dari Hubungan Internasional. Maka, indidvidu atau kelompok yang berinteraksi melewati batas-batas negara dan memiliki dampak yang signifikan bagi domestik dan internasional, dapat dikatakan sebagai aktor internasional. Hal ini terkait dengan interaksi yang terjadi di Eropa kala itu, para pelajar Asia-Afrika bertemu di cafe-cafe kolonial membahas kondisi negara mereka dan praktek-praktek kolonialisme.

    Sehingga, terbangun sebuah jaringan internasional dari negara koloni. Maka, dalam bab awal buku tersebut, Wildan menjelaskan, para pelajar Asia-Afrika membangun jaringan solidaritas internasional untuk menolak praktek-praktek kolonialisme oleh negara-negara Imperial Eropa. Kemudian, obrolan di cafe-cafe tersebut menjadi embrio dari kemerdekaan dan solidaritas Asia-Afrika yang di kemudian hari, Konferensi Asia-Afrika dan Dasasila Bandung.

    KAA dan Masa Awal dari Perang Dingin

    Pasca perang dunia kedua, pada abad 20 serta memasuki era perang dingin antara Blok Timur dan Blok Barat. Ide balance of power dari Morgenthau merupakan cermin dari kondisi perang dingin. Selain itu, dekolonialisasi di negara-negara Asia-Afrika membuat perubahan atas konfigurasi sistem internasional. Sehingga, negara-negara Asia-Afrika menjadi aktor baru dalam politik internasional. Dimana sistem internasional terbagi menjadi dua kubu, membuat negara yang baru merdeka harus menentukan sikap, yakni membangun aliansi atau mengikuti (bandwagoning) dari salah satu blok.

    Perlu dicatat, bahwa dari 29 negara yang hadir dalam konferensi Asia-Afrika, tujuh diantaranya tergabung ke dalam dua blok tersebut. Enam negara berada dalam Blok Barat, yakni Iran, Iraq, Turki, dan Pakistan tergabung dalam pakta keamanan Baghdad atau Central Treaty Organization (CENTO), serta Thailand dan Filipina yang tergabung dalam Southeast Treaty Oraganization (SEATO) yang berupaya menghalau komunisme di Asia Tenggara. Di lain pihak, blok timur di wakili oleh China dalam Konferensi Asia-Afrika.

    Pada awalnya, negara-negara yang tergabung dalam SEATO maupun CENTO enggan untuk menghadiri konferensi tersebut. Namun, atas nasihat Amerika Serikat dan Sekutunya, enam negara tersebut pun menghadiri Konferensi Asia-Afrika dengan membawa kepentingan dari blok barat, yakni meredam pengaruh komunisme China di dalam konferensi tersebut, serta sebagai telinga dari blok barat.

    Kemudian hasil dari konferensi tersebut dijadikan referensi blok barat dalam mengambil sikap atas negara-negara yang berada di luar blok. Hal ini terjadi, karena adanya sebuah paranoid atas konferensi tersebut, yakni ancaman bagi eksistensi blok barat.

    Maka, Konferensi Asia-Afrika bercorak aliansi. Negara-negara low power atau negara-negara baru merdeka membangun sebuah solidaritas dalam upaya menyeimbangi power dari negara-negara blok barat dan blok timur. Selain itu, corak dari aliansi adalah sebuah kerjasama yang egaliter, dimana negara-negara tersebut tidak melakukan intervensi, baik politik maupun bersenjata, atau menghormati kedaulatan negara masing-masing.

    Penulis             : Wildan Sena Utama

    Judul Buku      : Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal – Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Anti-imperialisme

    Penerbit           : Marjin Kiri

    Tebal Buku      : xxii + 281 Hlm

    Kemunduran dari Aliansi Negara Asia-Afrika

    Konferensi Asia-Afrika, pertama-tama adalah forum solidaritas dari negara Asia-Afrika. Kedua, penolakan terhadap praktek kolonialisme negara Imperial Eropa. Terakhir, solidaritas melawan hegemoni Amerika Serikat di PBB. Maka, hasil dari konferensi Asia-Afrika memiliki dampak yang cukup besar di dunia internasional, dimana pada dekade 1960an negara-negara yang masih dalam cengkraman Imperialisme Eropa, memerdekakan diri, terutama di benua Afrika. Serta, menolak agenda-agenda Imperialisme Eropa ataupun Amerika Serikat atas tanah Palestina.

    Akan tetapi, pemimpin Asia-Afrika generasi pertama dari Konferensi Asia-Afrika, satu per satu turun dari jabatan strategis yakni presiden dan menteri luar negeri. Turunnya para pemimpin tersebut dikarenakan oleh polemik politik dalam negeri yang berujung kudeta dan meninggal karena sakit. Sehingga, Semangat Bandung mengalami kemunduran dan kehilangan taringnya di dunia internasional. Ini menjadi titik awal dari kemunduran Semangat Bandung dalam menolak kolonialisme terjadi pada tahun 1965.

    Akibat kemunduran tersebut, China berhasil menaikkan kapasitas ekonomi untuk menjadi pemain global dunia, seperti sekarang. Sehingga, China mensponsori perusahaan-perusahaannya untuk berekspansi ke Afrika dan Asia. Dalam hal ini, China melalui proyek One Belt One Road (OBOR) untuk berinvestasi di negara-negara Asia dan Afrika dalam sektor pangan dan energi. Sehingga, China bertransformasi menjadi negara Imperial baru di era kontemporer saat ini.

    Buku tersebut secara implisit menjelaskan dinamika dari konstelasi politik dunia pada awal-awal perang dingin. Selain itu, menarik untuk dikaji hubungan dari negara-negara Asia dan Afrika, pasca kemunduran dari Semangat anti-kolonialisme dan anti-imperialisme di Bandung.[]

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here